Sumber gambar: moral-politik.com
Saya tidak mengenal mu, Emrus Sihombing. Hanya saja, sekilas, saya baca kamu adalah salah satu kaum cerdik pandai, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Harapan (UPH). Sungguh hebat gelar ini. Namun, betapa terkejut kala ku dapati otaknmu (yang katanya briliant itu) menelorkan pernyataan tak ubahnya lumpur comberan. Kotoran itu kau sembur dari mulut suci akademisimu. Kau tuduh para militan Jokowi dan menyandingkan mereka dengan para pencari rente. Sayang sekali! Supaya kau paham kenapa aku menulis seperti ini, baik, coba luangkan waktu sebentar untuk baca tulisan sederhanaku ini (Emrus, tolong jangan samakan dengan thesis atau penelitianmu ya). Ku kupas kata-katamu, supaya busuknya menyeruak. Ada beberapa peryataan yang menurut ku terdengar seperti ocehan orang mabuk. Begini peryataanyan yang ku dengar itu: Pertama: "Kalau memang akun-akun di media sosial seperti di twitter itu dikendalikan, berarti ada maksud tertentu menggiring opini publik. Harusnya ketika berpolitik, tidak boleh lepas dari moral. Seharusnya dalam memperoleh kekuasaan itu netral, tidak ada penggiringan," Emrus, aku tidak yakin kau sadar saat bicara seperti ini kawan! (persetan sadar atau tidak) Maaf, tapi aku harus jujur bahwa kau perlu membuka buku teorimu lagi. Seharusnya, sebagai pakar komunikasi politik kau cukup paham akan esensi dari politik. Namun, jika kau masih menggunakan cara pikir kolot, misal 'politik itu berasal dari bahasa Yunani, politikos, bla bla bla...' ku sarankan, ambil saja beberapa kuliah umum tentang filsafat politik. Kalau di Universitas mu tak ada, gampang, banyak di universitas lain, apalagi di Jakarta! Emrus yang baik, tolong ceritakan pada ku (kaum papa tuna politik ini) di mana ada panggung politik yang bebas nilai? Panggung politik yang saling menghargai lahir dan batin, di mana tolong berikanlah satu contoh? Di mana khalayak bisa tau suatu proses mendapat kekuasaan secara netral? Aku takut kau ini sedang berkhayal, membaca buku murahan buah tanganmu pribadi. Tentunya, jika kau membaca buku yang benar, aku yakin, pasti kau akan mungunci rapat-rapat, meski pernah terlintas hal ini di benakmu. Kedua: "Satu orang membawahi banyak akun di media sosial, itu sama saja dengan kebohongan publik. Sepertinya banyak orang yang berkomentar, padahal hanya dikendalikan satu orang supaya terbentuk opini,.....Apalagi seperti itu (pendukungnya menerima gaji). Itu tidak jauh beda dengan menghalalkan money politics. " Saya tak ingin komentar untuk ini. Karena, kawan Boni Hargens telah sangat telak menampar mulut kotor mu. Begini kata bung Boni: "Emrus salah kaprah besar. Dia harus menunjukkan bukti bahwa Relawan Jokowi dibayar. Jika tidak, Emrus adalah kelas orang pinggir jalan, bicara tanpa bukti. Pengamat kelas sampah, sungguh memalukan,...Bagi seorang ilmuwan, tak ada hal paling memalukan selain bicara tanpa bukti. Itulah yang dilakukan Emrus. Ini mempermalukan UPH. Kasian UPH, mempekerjakan ilmuwan kelas sampah seperti Emrus," Â sumber: tribunnews.com. Ketajaman logika bung Boni di atas telah sangat jelas menelanjangi Emrus. Saya tak perlu menambah. Meski kaum papa, nalar saya masih sangat normal. Ketiga: "Kebanyakan itu penjaga toko, penjaga gerai telepon seluler, ada juga yang tukang becak," Tidak pernah saya mendengar pernyataan selinglung ini dari akademisi yang pernah saya tau. Mungkin Emrus akan menekuk muka rapat-rapat dengan ketiak jika kaum papa bertanya padanya seperti ini: 'Apakah seorang penjaga toko, penjaga gerai telepun seluler dan tukang becak tidak boleh bermain politik? Â Saya takut, sepertinya otak Emrus ini masih terlalu kolot, atau kau telah terasing dalam dunia intelektual menara gading, sehingga penjaga toko dan tukang becak kau anggap berdosa jika ikut politik. Akhirnya, Emrus Sihombing yang baik, mungkin aku paham dibalik pernyataanmu itu, kamu pingin tenar kan? Jujur lah, kalau kamu jawab iya, saya yakin, semua orang di dunia ini mendukungmu. Tenar itu kan idaman banyak orang. Tapi kau juga harus sadar Emrus, tak gampang jadi orang ngetop. Tapi, jangan putus asa, kau pasti bisa; kuncinya, banyak-banyaklah belajar. Belajarlah dulu kawan!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H