Aku Bukan Parasit Puja
Notifikasi WA Â berdering jam masih menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Mataku yang dari tadi tertuju pada layar computer dialihkan oleh bunyi notifikasi di pagi hari bulan January Ketika gerimis masih mengetuk jendela kamarku. Aku raih hape, siapa yang mengirimkan pesan di pagi yang masih segelap sumur tua di belakang rumah kontrakan ini, pikirku. "Bung Vebi itu "parasit" hati-hati kita sudah disusupi. Semua rencana ditunda sementara. Besok pagi kita ketemu di rumah basis lama. Urgent!" Aku hanya memegangi hape tidak tahu harus membalas apa pada pesan itu. Aku diamkan, kuteguk kopiku yang sudah dingin yang tak sempat kusentuh karena press release yang sedang kukerjakan untuk aksi minggu depan belum menemukan titik cerah. Diluar sana hanya ada gerimis tidak ada petir atau Guntur, tapi kenapa hatiku seketika menggelegar, aku terdiam terbujur kaku. Aku nyalakan sebatang rokok dan berjalan keluar kamar yang sumpek oleh tumpukan buku dan kertas serta asap rokok yang mengepul memaksa ingin bebas dari kamar ini. Di depan teras rumah aku berdiri memandang jauh menerobos gerombolan kecil hujan seperti para peziarah yang berbaris rapi. Tidak mungkin vebi seorang parasit, kemarin kami masih bercerita tentang mimpi-mimpi akan sebuah keadilan, mimpi tentang perjuangan untuk kebenaran bagi kaum tertindas. Di matanya masih kutemukan mimpi-mimpi itu perlahan terwujud menjadi sebuah realitas yang ingin kupeluk dalam dekapan terima kasih karena ia hadir dalam kepenuhan mendukung mimpiku.
Rabu pagi hari di rumah basis lama, 2 hari sebelum aksi besar-besaran kami lakukan. "Puja, dia seorang pengkhianat, Vebi pengkhianat kaum-kaum tertindas, dia berkhianat. Berhenti kau dari cinta omong-kosongmu itu. Lihat kenyataan bung" teriak Bayu melihat responku yang masih terdiam konyol. Kuteguk Kembali kopiku dan kukepulkan asap dari mulut. Ini gelas kopi ketiga yang kuseduh, aku butuh kafein lebih banyak untuk menghilangkan rasa kantuk dan agar warasku tetap terjaga. "Apakah kalian yakin?" tanyaku singkat. "Kami sudah menemukan identitasnya", sambung Bayu. "Dia seorang detektif swasta dan dia lulusan sekolah intelijen dari negeri Ratu Elisabeth. Dia seorang profesional dan dia sangat dingin, dia hanya memanfaatkanmu". Dari Bayu kuketahui sebagian informasi kami telah dilaporkan bahkan foto-foto kami telah sampai di meja pemesan. "Aku akan menemuinya, Bay" kataku menutup protesnya. "Tapi pastikan kau bisa menguasainya, bagaimanapun Jumat aksi tetap kita lakukan apapun resikoknya. Hanya ini kesempatan kita, massa sudah siap dan kunjungan Presiden sudah kita dapatkan jadwalnya, kita akan masuk dan demonstrasi di ring satu persis di depan Kantor Gubernur." "Iya aku tahu, beri aku waktu, Jumat pagi aku akan bergabung dengan barisan massa".
Kamis sore hari. " Kita bertemu di tempat biasa, di taman kota. Aku ingin kau datang setidaknya aku ingin bertemu untuk yang terakhir denganmu" tulis pesanku di WA kepada Vebi. Bangku taman masih basah setelah ditinggal hujan yang tidak paham isi hatiku yang terjebak antara amarah dan rindu. Dia berjalan perlahan ke arahku dengan sweater berwarna pink kesukaannya dan kacamata yang bergelantung di wajahnya yang manis dan terlihat polos. "Bagaimana kau bisa sekejam itu dalam balutan kepolosan dan sederhanamu Vebi" gumamku dalam hati. Dia duduk disebelahku berjarak sejengkal ada ruang diantara kami berdua, ruang yang kosong dan dingin. "Maaf" katanya membuka percakapan yang dari tadi sengaja kudiamkan agar dia yang memulai semua, karena baru kali ini aku tidak bisa memulai sesuatu yang tidak bisa kuakhiri. "Maaf Puja, semua yang kau dengar benar. Tapi aku jatuh padamu dengan cara yang tidak pernah kuantisipasi juga adalah kebenaran. Aku jatuh cinta padamu, jatuh pada sosokmu yang gigih dan tulus untuk membantu kaum yang tertindas karena ulah keserakahan. Aku jatuh cinta pada mimpimu dan aku terjebak di dalamnya. Tapi aku begitu konyol, aku kalah oleh egoku, aku ingin ini aktfivitasku terakhir yang ingin sukses kulakukan, ini akan menjadi pencapain besar karirku, dan aku tidak bisa menarik mundur karena semua sudah kusampikan pada pemesan. Tapi aku mohon kalian hentikan aksinya karena kali ini mereka tidak akan menolerir lagi mereka akan keras kali ini. Setidaknya bila aku masih bisa meminta kau jangan ikut turun aksi, pulanglah dulu ke rumah Ibu. Aku tahu ini hanya permintaan konyol yang tidak akan kau gubris tapi setidaknya harapku telah kusampaikan. Dan Jumat nanti aku akan tetap di taman ini, bila terjadi chaos aku menunggumu disini aku sudah menyiapkan evakuasi untukmu dan jalur pelarian yang aman. Aku mohon jangan bertindak bodoh, aku menunggumu disini." Aku berdiri, cukup kebenaran yang ingin kudengar. Kukeluarkan rokok dari balik jaket hitamku, kunyalakan sebatang dan kuhisap dalam-dalam. Aku menatapnya dan melekat di indah bola matanya yang selalu menghipnotisku. "Aku pergi kataku" walaupun sedikit ruang di hatiku ingin menghabiskan sepanjang malam ini bersamanya seperti malam-malam sebelum kenyataan ini menyiksa. Aku mengayunkan Langkah gontai. "Puja" panggilnya lirih ada nada ragu disana dan ada rindu yang kutangkap. Tidak mungkin langkahku kuhentikan walaupun hatiku ingin berdiam disana. Ingin kulepaskan seribu dekap padamu biar tidak meninggalkan lubang mengangga. Tapi tidak bisa, amarah dan kesal masih berkecamuk lebih kuat dari rindu.
Jumat menjelang siang. Massa mulai melempari petugas keamanan. Situasi semakin tidak terkendali, asap-asap bom airmata mulai dilepas. Massa semakin beringas, berusaha melempar Kembali bom-bom yang memedihkan mata walaupun tidak sepedih ketidakadilan yang menimpa negeriku. Massa aksi terbakar amarah, amarah-amarah tak bertuan, amarah yang terbungkam sekian lama oleh penindasan dan keserakahan. Mereka tidak mundur satu meterpun, mereka memukul balik setiap pukulan yang dilayangkan di dada mereka. "Dor, dor" tembakan mulai lepas tak beraturan tidak ada yang tahu dari mana arah suara. Â Massa mulai panik berlarian tanpa arah. Suasana semakin tidak terkontrol, massa pecah ke berbagai titik. "Kembali, rapatkan barisan kita tidak kalah oleh kematian" teriakku dari pembesar suara. "Kawan-kawan Kembali dan bersatu" teriakku Kembali. "Kita hanya akan tunduk pada kebenaran bukan pada senjata" teriakku untuk menyemangati massa. Mereka Kembali, terbakar oleh teriakanku yang tetap berdiri di depan barisan berseragam. Massa mulai menyatu untuk satu suara dan satu perjuangan.
"Dooooor" Satu besi tak bernama dilepaskan dari sebuah laras hitam yang haus akan darah. Satu tubuh tergeletak di aspal yang mengitam basah tersiram air dari mobil water canon. Darah mengucur membasahi aspal di Jumat Siang. Tidak terdengar lagi suara penyemangat yang membakar jiwa-jiwa massa. Satu peluru menembus jantung sang Penyuara membungkam mulut kerasnya dan membungkam jiwanya. "Pujaaaaa", teriak bayu memecah kebisingan teriakan-teriakan sedih dan amarah.
Ditaman kota ada yang berdiri mematung, di musim hujan air matanya berguguran dari mata yang pernah dicintai seseorang. Semesta memaksanya tertunduk, di rumput taman kota ia terjatuh, terjatuh pada sesal tak berarti. Semua telah berakhir. Mimpi itu berakhir, dia menang dalam ego tapi kalah dalam hati.
Musim semi di taman makam kota bunga-bunga tumbuh mekar penuh warna, kupu-kupu warna-warni menari di udara yang hangat. Hanya nisan yang berwarna hitam tetap berdiam. Seorang wanita menggunakan sweater pink meletakkan sekuntum bunga mawar hitam ia letakkan di makan dengan nisan yang bertuliskan "Disini dimakamkan seorang pemberani, suara yang tak akan pernah terbungkam, suaranya masih terdengar dan tersebesar". Wanita itu berbisik, "kita tidak bertemu lagi di taman kota, terima kasih untuk suaramu yang tetap bergema di hatiku. Tenanglah, kini aku yang akan menjadi suaramu"
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H