Setelah usainya Pemilu 9 Juli lalu, Partai Demokrat yang telah berkuasa selama satu dekade terakhir harus menerima kenyataan kalau kepercayaan rakyat telah turun. Alhasil, partai berlambang mercy itu menempati urutan keempat di bawah PDI P, Golkar, dan Gerindra dengan presentase 10.19 persen. Kursi di parlemen pun berkurang.
Berdasarkan penghitungan resmi oleh KPU, PDI Perjuangan mendapat jatah kursi terbanyak dengan jumlah 109, lalu ada Golkar dengan 91 kursi, Gerindra 73 kursi, Partai Demokrat 61 kursi, PAN 49 kursi, PKS 40 kursi, PPP 39 kursi, Nasdem 35 kursi serta Hanura 16 kursi. Perhitungan itu berdasarkan Surat Keputusan Nomor 411/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang penetapan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten-Kota.
Dengan hanya menempati posisi keempat, maka Partai Demokrat hanya mendapat 61 jatah kursi di DPR dari 560 kursi legeslatif. Dinamika terus berlanjut menjelang pemilihan presiden. Sampai injury time menjelang pemilihan presiden, Partai Demokrat, melalui pucuk pimpinannya, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan sebagai partai netral. Partai yang berada di tengah-tengah antara koalisi pendukung Prabowo-Hatta, Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Keberadaan Partai Demokrat yang berada di tengah, dianggap sebagai partai penyeimbang. Istilah partai netral pun berubah menjadi partai penyeimbang.
Rupa-rupanya, Partai Demokrat menjadi magnet tersendiri bagi kedua kubu kolisi pengusung calon presiden masing-masing. Dan tak bisa dipungkiri, istilah penyeimbang ini sangat signifikan menggoyang peta perpolitikan negeri Indonesia.
Contohnya saja saat rapat paripurna terkait Pilkada pada 26 September lalu. Sebelumnya, ketua pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas dan penuh hati-hati menjatuhkan pilihan pada Pilkada langsung, namun, partainya justru melakukan Walk Out yang berdampak pada kemenangan Koalisi Merah Putih yang tanpa menanggapi kehendak rakyat tetap ngotot meminta Pilkada dilakukan oleh DPR.
Setelah kejadian itu, terlihat keseimbangan timpang. Seakan-akan, di mana Partai Demokrat berpijak, di situ lahir kemenangan. Dengan aksi Walk Out saat paripurna, itu menandakan kalau Partai Demokrat, secara tidak langsung telah membuka jalan bagi Koalisi Merah Putih untuk merealisasikan kehendak kelompok mereka.
Rakyat yang mayoritas menghendaki Pilkada langsung pun kecewa berat. Mereka marah. Di media sosial, Presiden RI sekaligus Ketua Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mendapat kecaman dan ejekan. Hastag #ShameOnYouSBY menempati posisi teratas trending topik dunia selama dua hari berturut-turut. Bahkan hastag itu sempat menghilang di Twitter dan berganti lagi menjadi #ShamedByYouSBY.
SBY pun dianggap menjadi aktor handal di belakang adegan hebat perpolitikan di akhir masa jabatannya sebagai presiden. Rakyat pun tak segan memberi gelar kepada SBY sebagau Bapak Anti Demokrasi, Bapak Pilkada Tak Langsung bahkan juga ada yang mengatakan kalau SBY adalah seorang pembohong.
Bisa juga istilah 'partai penyeimbang' adalah bagian dari drama yang didalangi SBY. Istilah penyeimbang dimunculkan supaya citra partai tidak tergerus oleh pandangan negatif rakyat. Istilah penyeimbang justru menggambarkan kalau Partai Demokrat adalah partai yang dapat menentukan arah keputusan. Hal seperti itu biasanya hanya terjadi pada partai pemenang, sementara PDI Perjuangan, sebagai partai pemenang tak bisa berbuat banyak di parlemen.
Kecenderungan Partai Demokrat nampak mengarah pada Koalisi Merah Putih. Tak bisa dipungkiri lagi, sekalipun para kadernya terus-menerus mengatakan mereka tak berpihak, tapi logika rakyat saat ini tak mudah dibohongi. Toh, saat tinggi rendahnya hiruk pikuk pesta pemilihan presiden lalu, Partai Demokrat, dengan kader-kadernya yang mendudukai jabatan penting di partai secara terang-terangan menggandeng tangan para pendukung Prabowo-Hatta.
Taktik Partai Demokrat ini sungguh cerdik sekaligus licik. SBY melihat peluang, meskipun Partai Demokrat bukan partai pemenang, tapi posisinya merupakan partai penentu. SBY, yang dipilih langsung oleh rakyat juga telah mengkelabui rakyat. Seakan-akan ia adalah sosok yang memperjuangkan kehendak rakyat dengan mengeluarkan Perppu untuk menjegal Pilkada oleh DPR. Padahal, Partainyalah yang mengakibatkan Pilkada oleh DPR ditetapkan.
Walaupun terus menggunakan istilah penyeimbang, ternyata Partai Demokrat tidak bisa menjaga keseimbangan rakyat dan partainya. Ini adalah sandiwara lain dari Partai Demokrat. Istilah penyeimbang tak lainadalah pilihan agar daya serang partai memilikki amunisi yang banyak. Tanpa disadari, Partai Demokrat bisa seenaknya sendiri memilih amunisi. Apakah amunisi dari Koalisi Merah Putih atau dari Koalisi Indonesia Hebat. Patut diwaspadai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H