26 Oktober 2008,
JAKARTA-- Banyak pulau di Indonesia yang punya pantai indah. Salah satunya pantai di Belitung yang berada di provinsi Bangka Belitung (Babel), sebuah pulau yang berbatasan dengan Laut China Selatan di utara, Laut Jawa di selatan, dan Selat Gaspar di barat. Namun, keindahan pantai di Bumi Laskar Pelangi, sebutan baru untuk Belitung, bisa dibilang sangat sempurna.
Paling tidak, begitu komentar Ginette (54) dan Jeans Cammas (57), pasangan istri suami dari Perpignon, Prancis. Dengan kapal layar, keduanya mengikuti Sail Indonesia 2008 yang telah menyusuri Darwin, Kupang, Alor, Lembata, Maumere, Ende, Riung, Labuan Bajo, Bima, Karimun Jawa, Kumai, dan Belitung. Sepanjang pelayaran mereka, pantai-pantai yang bagi mereka memiliki keindahan sempurna itu ada di pantai-pantai Billiton alias Belitung.
”Belum pernah saya mampir di sebuah negara seindah Indonesia. Tapi Belitung...,” kata Ginette sembari menekan suara, ”sempurna!”
Seperti pasangan tersebut, banyak pelancong yang sangat terkesan oleh keramahan penduduk Belitung yang cair. Di Eropa, tambah Ginette, orang sangat mendewakan uang tapi tidak punya hati. ”Di Indonesia dan di sini (Belitung-Red), meski mungkin masyarakatnya tidak punya uang, tapi kaya hati.”
Apa yang dikatakan Ginette mengenai pulau penghasil merica dan timah itu tidaklah berlebihan. Memang begitu kenyataannya. Di pulau yang namanya diambil dari nama batu billitonite atau batu satam oleh kolonialis Belanda sejak tahun 1922 itu waktu terasa begitu lambat berputar. Ah, tidak, tidak sekadar itu. Waktu di sana seperti berhenti.
Waktu yang berhenti itulah yang menjadi salah satu indikasi kedamaian yang melenakan. Dua kabupaten yang ada, yaitu Kabupaten Belitung Barat dengan Tanjung Pandan sebagai pusat pemerintahannya, dan Belitung Timur dengan Manggar sebagai pusat keramaiannya, sehari-hari nyaris sepi oleh aktivitas manusia.
Kemeriahan hanya berlangsung pada akhir pekan. Itu pun hanya terpusat di loka-loka tujuan wisata. Apalagi kalau bukan pantai yang menjadi tempat pertemuan ratusan bahkan ribuan orang untuk berlibur.
Tidak ada pusat permainan, gedung bioskop atau tempat perbelanjaan mewah seperti di Jakarta, atau kota besar lainnya di Jawa. Pantai, yang puluhan jumlahnya, tampaknya mampu mengganti keberadaan semua tempat itu dengan purna. Layaknya gaya hidup orang-orang Eropa, masyarakat Belitung, baik di Barat maupun di Timur, senantiasa meluangkan waktu di akhir pekan untuk berpiknik. Entah siapa yang memulainya. Menurut pengakuan salah seorang warga asli Belitung, kebiasaan itu sudah lama berlangsung, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Dan pantai adalah tujuan yang istimewa.
Jadi, sepanjang pagi hingga petang di akhir pekan, baik di pantai Tanjung Pendam, Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Bukit Berahu, dan berbagai pantai lainnya, puluhan keluarga dari suku Melayu, keturunan Tionghoa Hokkian dan Hakka bercampur baur dan bergembira bersama. Di sana, nyaris tidak terbetik cerita mengenai perseteruan di antara mereka. Benarlah, di pulau yang sebagian besar penduduknya tinggal di kawasan pesisir pantai dan menambang timah di pedalamannya itu keakuran menjadi harga mati yang tidak terbantahkan.