Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Romo Mudji Sutrisno: Pemikir yang Seniman

7 Oktober 2016   16:39 Diperbarui: 10 Oktober 2016   10:50 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Mudji, SJS, penulis di Yasnaya Polyana, Red Square, Moskwa Rusia 2006. (dok pribadi/BB).

Dipandang dari sudut pemerintahan, sejak 1998, Orde Baru yang dilengserkan sebenarnya hanya Soeharto. Seluruh watak pengelolaan kekuasaan, sistem, dan orang-orangnya nggak ada satu pun yang dilengserkan.

Jadi, watak Orde Baru jalan terus. Karena hanya Soeharto yang dilengserkan dan pemerintahan yang baru hasil Pemilu 1998 -Gus Dur dan Mega- tidak berhasil berkonsolodasi, muncullah kesangsian-kesangsian. Pertama, ada yang mengatakan reformasi sesungguhnya jalan di tempat. Yang kedua, orang baru sadar, betapa yang dibutuhkan rakyat hanya soal keamanan dan perut yang terisi dengan baik.

Rezim yang sekarang dan sebelumnya tidak berhasil dalam dua soal itu. Karena itu, nuansa nostalgia atau keinginan kembali ke rezim yang lalu sangat terasa di kalangan rakyat. Dalam pandangan mereka, kecukupan itu dipenuhi oleh rezim lama.

Kalau kita lihat dalam lapis ekonomi, selama 32 tahun Soeharto berkuasa, secara de facto masyarakat mendapatkan rasa aman meski semu. Ekonominya pun tercukupi. Jadi, krisis yang menimpa kita pada 1997 sebenarnya hanya menimpa yang makro. Rakyat biasa belum merasa betul-betul terkenai krisis. Mereka baru menyadari krisis itu setelah utang, KKN, dan korupsi terjadi. Dan tragisnya bagi rezim Megawati, rakyat baru menyadari sekarang. Dengan kata lain, baru sekarang rakyat mengalami situasi yang berat itu. Akibatnya, rakyat ingin bernostalgia dengan rezim lama.

Ini analog dengan zaman ketika secara resmi Indonesia baru merdeka pada 1949. Selama masa transisi -1945 hingga 1949- rakyat lebih merindukan kembali ke suasana normal saat dijajah Belanda.

Analogi dari rakyat kecil inilah yang tidak dibaca oleh para pemimpin reformasi. Inilah kegagalan para pemimpin yang tidak mampu membaca kebutuhan rakyat. Rakyat hanya mengingikan rasa aman dan kebutuhan ekonomi tercukupi. Hal semacam itu sebenarnya sudah diberikan Soeharto pada 1965. Rakyat lebih dulu diberi makan, meski tak ada kebebasan. Kebutuhan utama itu kan fisik. Setelah itu baru kebebasan. Bagaimana bisa bebas kalau kebutuhan perut tidak beres?

Lalu partai-partai apa saja yang ditengarai membawa kepentingan Orde Baru?

Sebenarnya 24 partai yang ada sekarang terbagi dalam tiga indikasi. Pertama, semakin menipisnya motivasi ideologis, dalam arti agamais. Yang Islam makin kecil. Katolik hampir tidak ada yang masuk. Kristen diwakili Partai Damai Sejahtera. Lalu yang ideologinya Pancasila atau nasionalis kebangsaan tetap ajek. Yang berideologi kemananusiaan atau demokratisasi juga belum beranjak.

Jadi secara ideologis, yang agamais mengecil, Pancasilais tetap. Jika dipandang dari model penawaran kesejahteraan, sesungguhnya kita set back. Kenapa? Karena yang dipamerkan justru KKN. Semua perundangan yang dipakai hanya untuk memperkaya diri. Karena itu, rakyat muak pada tokoh-tokoh politik.

Fenomena yang ketiga, secara kultural, sebenarnya tidak terjadi pendidikan politik, baik oleh parpol yang berafiliasi dengan kekuatan Orde Baru maupun parpol seperti PDI-P atau Golkar baru. Rakyat pun akhirnya bingung.

Jadi, apakah partai Orde Baru itu kembali? Jangan lupa, dalam politik praktis, partai-partai reformis yang ada dan mengatasnamankan dirinya reformis ini sebenarnya miskin pengalaman. Yang canggih berpolitik di lapangan adalah partai-partai Orde Baru. Anda bisa melihat pada 1998 mereka semua tiarap dan masuk ke semua partai. Mereka masuk lewat jalur keorganisasian yang tidak (terkena) krisis. Yaitu tentara atau jenderal-jenderal yang dibesarkan oleh Soeharto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun