Mohon tunggu...
Gladly Steward Benly Taliawo
Gladly Steward Benly Taliawo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

harapku,,Indonesia bangkitlah!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Sistem Proporsional Terbuka?

7 Oktober 2016   10:52 Diperbarui: 7 Oktober 2016   11:17 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam perjuangan!

Pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 kita menggunakan sistem proporsional terbuka dimana penentuan wakil rakyat didasarkan pada perolehan suara terbanyak. Sebelumnya kita menggunakan sistem proporsional tertutup yaitu pemenang ditentukan berdasarkan nomor urut, namun kemudian oleh Mahkamah Konstitusi sistem ini dianulir karena dianggap tidak sesuai dengan substansi kedaulatan rakyat.

Dari 2 kali kesempatan menggunakan sistem proporsional terbuka tampaknya Pemilu berjalan dengan aman, terbuka dan demokratis dengan harapan akan menghasilkan anggota parlemen yang berkualitas baik di tingkat pusat maupun di daerah. Praktek proporsional terbuka memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berdaulat seutuhnya dalam menentukan para wakilnya di parlemen, disisi lain juga memberikan kesempatan dan pengakuan yang sama kepada para caleg untuk bersaing secara sehat dalam Pemilu.

Namun kenyataannya tidak se-ideal itu. Sistem proporsional terbuka juga memberikan konsekuensi yang sangat kompleks dan masif. Dengan sistem proporsional terbuka maka “politic market” menjadi lebih luas dan terbuka. Siapa saja yang memiliki “resource” bisa menjadi calon anggota legislatif. Tapi kemudian beberapa permasalahan, antara lain persaingan yg tidak sehat antar sesama caleg dalam satu partai, banyaknya caleg-caleg instan yg hanya bermodal popularitas dan limpahan uang, adanya praktek transaksional dalam penentuan caleg dan nomor urut yg dilakukan oleh partai politik, praktek kampanye yg tidak mendidik hingga temuan “money politic”. Secara ekstrim jelas terlihat bahwa banyak sekali permasalahan yg timbul dan diasosiasikan sebagai akibat dari penerapan sistem proporsional terbuka.

Sistem proporsional terbuka juga tidak terlalu memberikan signifikansinya dalam menghasilkan anggota parlemen yg berkualitas dan berakhlak baik. Hal ini dapat kita lihat dari profil para legislator periode 2009-2014. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat hingga akhir tahun 2013 terdapat sebanyak 181 anggota (DPR/DPRD) yang terjerat korupsi.

Selain perilaku korup, publik juga tidak puas dengan kinerja dewan periode 2009-2014. Hasil riset yg dikeluarkan oleh Institut Riset Indonesia (Insis) pada tahun 2013 menunjukkan 60,9% responden menilai kinerja parlemen tidak baik dan 16,1% responden menilai kinerja parlemen semakin tidak baik. Hal ini menjadi bukti bahwa para anggota DPR/DPRD yg dihasilkan melalui sistem proporsional terbuka mendapat citra yang negatif dimata masyarakat.

Seharusnya, sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak tidak hanya memenuhi prasyarat demokrasi prosedural tetapi juga menjangkau demokrasi substantif dengan menghasilkan legislator yg berkualitas dan memiliki integritas. Kuncinya ada pada peran Partai Politik ketika menjalankan fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik. Partai politik seharusnya dapat menyajikan sebuah instrumen yg mengartikulasikan ideologi, visi dan kebijakan (termasuk memperkenalkan para kadernya) yg menjadi pilihan partai tersebut untuk disosialisasikan kepada masyarakat sehingga mendapatkan “feedback” berupa dukungan dari masyaraat luas.

Selain itu partai politik juga seharusnya mengakomodir kader-kader yg dilahirkan langsung dari rahim partai itu sendiri sehingga memiliki integritas dan loyalitas terhadap garis ideologi partai. Yang terjadi, para kader yg disajikan oleh partai politik adalah para kader instan yang masuk ke partai dan menjadi caleg karena praktik “kutu loncat” (pindahan dari partai lain) dan praktik politik transaksional.

Pada akhirnya masyarakat dihadapkan pada berkurangnya rasionalitas dalam menentukan partai dan caleg yg akan dipilihnya secara logis melalui analisis kualitas, penelusuran “track record”, kapabilitas dan pengetahuan serta integritas. Selama ini alasan paling dominan yg menjadi rasionalisasi masyarakat ketika menentukan pilihannya justru lebih banyak didominasi oleh faktor popularitas dan uang.

Sistem proporsional terbuka harusnya dibarengi dengan penegasan dan pengawasan atas pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik secara jujur dan terbuka. Dalam konteks politik modern di negara demokrasi seperti Indonesia, partai politik memegang peranan yg sangat strategis. Oleh sebab itu peran partai politik dalam pembangunan politik bangsa yg berkualitas dan berintegritas harus lebih mendapat penguatan. Sehingga nantinya hal ini berbanding lurus dengan kualitas parlemen yg dihasilkan oleh sistem Pemilu yg kita miliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun