Pandanganku menerawang jauh, menembus hujan dari balik jendela.
“Kau tahu permasalahannya. Orang tuaku menunggu kepastianmu.” Pacarku melanjutkan pembelaannya.
“Perjodohan ini baru sebatas rencana, belum ada keputusan.” Tak bergeming, aku masih membuang muka ke jendela.
“Sekarang, telah kuputuskan. Aku akan mengikutimu, jilbab ini akan kulepas.”
“Apa maksudmu?!”
“Jadikan aku istrimu, bimbinglah menjadi hamba-Nya yang benar-benar taat. Ini semua karena cintaku padamu. Kau sanggup?”
Senja mengintip dari jendela, meniadakan hujan. Seolah alam ingin berisyarat, padaku. “Aku ingin menjadi muallaf, dan kelak imam bagimu.”
Seketika air matanya mengucur, “Kau serius?”
“Tentu, demi cintaku padamu, gadis berkerudung ungu.”
Di jendela, bulan sabit tersenyum padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H