Mohon tunggu...
Benita Sashia
Benita Sashia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orbit Pendidikan di Indonesia: Tentang Kartu Indonesia Pintar dan Pembangunan Infrastruktur

30 September 2016   09:25 Diperbarui: 30 September 2016   09:49 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world."

- Nelson Mandela

Sungguh, ingin rasanya menunjukan kepada seluruh masyarakat di negeri ini bahwa kutipan tersebut ada benarnya. Saya percaya bahwasannya, pendidikan, adalah pondasi terkuat bagi sebuah bangsa untuk melangkah lebih jauh dari posisi nya saat ini.

“Lalu, bagaimana jika kita refleksikan kutipan tersebut dengan pendidikan di Indonesia saat ini?”

Bisa dikatakan bahwa dunia pendidikan kita saat ini di Indonesia sudah melenceng jauh dari orbit pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bagi para siswa nya untuk mengembangkan kualitas diri secara mental maupun pikiran secara mandiri pun berkali-kali gagal untuk dicapai baik oleh murid maupun pengajar.

Menteri pendidikan dan kebudayaan terus berganti, namun tetap saja impian masyarakat agar menteri dapat menyelamatkan mereka dari sistem pendidikan yang sudah terlanjurbobrok ini harus tertunda lagi. Dibawah pemerintahan Muhadjir Effendy lagi-lagi fokus pendidikan di negeri ini masih terpusat pada anggaran, bantuan operasional sekolah, standar formal kompetensi guru, dan ujian nasional. Hal tersebut dapat terlihat secara nyata melalui isi dari target dan sasaran Kemdikbud pada tahun 2017 yang berfokus pada peningkatan akses pendidikan. Setelah ditelaah ternyata isi dari target dan sasaran Kemdikbud pada tahun 2017 tersebut ternyata hanya berfokus pada peningkatan mutu pembangunan dan administrasi nya saja, bukan dari kualitas pendidikan itu sendiri. Belum lagi beberapa program yang telah diusung oleh pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan seperti, program Kartu Indonesia Pintar masih bersifat sarat akan kritisi.

Lagi-lagi tujuan yang ingin dicapai oleh Kemdikbud dalam misi nya untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui program ini rasanya masih juga tidak akan tercapai. Bahkan mungkin masih sangat jauh untuk mencapai tahap berhasil. Lagi-lagi dapat kita kita lihat bahwasannya esensi dan peningkatan mutu dari pendidikan itu sendiri masih terlewatkan di program Kartu Indonesia Pintar ini. Berdasarkan isi tujuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diadakan nya program Kartu Indonesia Pintar hanya berdasar atas keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi siswa dan pengurangan angka putus sekolah yang perbedaan nya cukup besar antara penduduk kaya dan miskin dan antara wilayah perkotaan, perdesaan dan antar daerah.

Namun jika kita bisa berpikir cukup dalam dan kritis, maka muncul lah pertanyaan di dalam benak kita, “Mengapa partisipasi masyarakat di Indonesia untuk menempuh pendidikan di Indonesia masih sangatlah rendah?” dan “Mengapa partisipasi siswa di daerah sangat timpang dengan partisipasi siswa yang tinggal di perkotaan?”

Menurut penulis, partisipasi masyarakat untuk menempuh pendidikan masih sangatlah rendah, karena masyarakat di Indonesia berpikir bahwa pendidikan di Indonesia ini sifatnya kebutuhan tersier bukan kebutuhan pokok. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman atau memiliki keterbatasan ekonomi. Jika semua masyarakat Indonesia menganggap bahwa menempuh pendidikan itu sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk hidup seperti makan dan minum maka masyarakat Indonesia tidak akan meninggalkan bangku pendidikan dengan mudah nya. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang agar pendidikan tetap tersambung dan bahkan menjadi prioritas utama bagi mereka. Tidak pandang masyarakat miskin atau kaya dan di daerah maupun di kota.

Namun permasalahan nya disini adalah masyarakat di Indonesia tidak bisa berpikir sampai pada tahap itu. Mereka yang terutama terganjal oleh keadaan ekonomi, masih tetap dengan pendirian mereka bahwasannya pendidikan di Indonesia belum mampu mengubah nasib mereka. Cerminan pendidikan di Indonesia yang sampai saat ini sifatnya masih stagnan-stagnan saja terutama di daerah dan pedalaman, dianggap tidak akan memperbaiki keadaan ekonomi mereka dan tidak akan mengubah masa depan anak-cucu mereka nantinya. Maka dari itu, angka putus sekolah di daerah dan pedalam masih sangat tinggi.

Dangkal sekali, jika berpikir bahwa hanya dengan cara memperbaiki infrastruktur sekolah semata-mata dapat langsung menaikan minat masyarakat untuk mengubah paradigma pendidikan dari kebutuhan tersier menjadi pokok dapat terlaksana. Dalam misi nya memperbaiki infrastruktur sekolah tentu saja juga dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan biasanya nantinya biaya itu dilimpahkan juga terhadap siswa. Akibat pembangunan infrastruktur dan untuk menjaga infrastruktur baru yang telah dibangun, kemungkinan nantinya siswa juga diharuskan untuk membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang lebih tinggi dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun