Mohon tunggu...
Benita Dian Purnamasari
Benita Dian Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Consultant

A devoted wordsmith who deliberately selects joy in every moment

Selanjutnya

Tutup

Financial

Peran Kebijakan Makroprudensial dalam Ekonomi Hijau

23 Maret 2024   16:55 Diperbarui: 23 Maret 2024   16:58 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Transformasi menuju sumber energi hijau bukan tugas yang mudah seperti menjentikkan ibu jari. Upaya untuk mematikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara lalu menggantikannya dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) butuh beberapa tahapan yang melibatkan investasi finansial. Kami yakin bahwa KLM memiliki potensi besar untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan dan keuangan yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan, namun perlu koordinasi yang efektif serta pengawasan yang ketat untuk meminimalkan potensi dampak negatif.

Indonesia berkomitmen dalam menurunkan emisi sebesar 43,2% di tahun 2030 dengan bantuan internasional dan 31,89% dengan kemampuan sendiri serta menuju karbon netral di tahun 2060 sesuai target E-NDC (Enhanced Nationally Determined Contribution). Kerangka skenario tersebut sudah dimulai  semenjak Protokol Kyoto, dilanjutkan Perjanjian Paris dan UN Climate Change Conference of Parties (COP) 27 di Sharm-el-Sheikh tahun lalu. Untuk mendukung pencapaian tersebut, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan, antara lain perlu peran serta berbagai macam pemangku kepentingan, seperti Peraturan yang mengatur terkait tercepatnya penurunan emisi karbon melalui kanal Peraturan Presiden (PerPres) No.98 Tahun 2021 terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK), UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) No.7 Tahun 2021 terkait pajak karbon, serta UU Penguatan Sektor Jasa Keuangan (P2SK) No. 4 Tahun 2023 berupa pedoman dan regulasi yang diharapkan lembaga keuangan mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial dalam pengambilan keputusan investasi serta Peraturan Menteri (PerMen) lainnya seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.16 Tahun 2022 mengenai tata pelaksanaan karbon di subsektor jasa ketenagalistrikan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.21 Tahun 2022 mengenai pengenaan harga karbon khususnya di sektor kehutanan dalam mengurangi deforestasi dan mendukung pelestarian hutan yang berperan dalam penyerapan karbon.

Bank Indonesia (BI) turut kontribusi. Salah satunya dengan mengeluarkan strategi jamu Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) pada 1 Oktober 2023. Ini merupakan insentif bagi bank untuk menyalurkan kredit kepada sektor prioritas, penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta sektor hijau. Itu sebabnya, BI juga melakukan refocusing stimulus kebijakan dalam pembiayaan ekonomi hijau dari maksimal 0.3% menjadi 0.5%.

Sebagai lembaga penyedia dana, bank menjadi motor transisi menuju ekonomi hijau.  Untuk memenuhi target penurunan emisi karbon, bank berperan dalam meningkatkan kredit hijau sehingga perusahaan non hijau akan mengalami hambatan untuk mengakses pembiayaan. Dengan begitu, debitur bank akan melakukan penyesuaian proses bisnis, berfokus pada investasi hijau dengan membeli kredit karbon untuk memperoleh pembiayaan yang lebih kompetitif dari bank.

Kebijakan makroprudensial hijau memberikan insentif kepada perusahaan berkategori hijau serta disinsentif berupa pajak karbon kepada perusahaan berkategori coklat. Dengan demikian akan mendorong perusahaan untuk beralih dari brown firms menjadi green firms. Bank dalam hal ini akan melakukan penyesuaian suku bunga kredit berupa diskon atas kredit hijau serta pengenaan premi suku bunga atas kredit coklat. Sehingga brown firms dapat meng-offset kewajiban karbonnya dengan membeli kredit karbon dari green firms.

Paradoks muncul apabila KLM cenderung mendorong pertumbuhan kredit dalam sektor yang mungkin tidak berkelanjutan dari sudut pandang lingkungan. Tentunya hal ini berpotensi menodai visi penting bagi keuangan berkelanjutan. Untuk menjembatani paradoks ini, penting bagi regulator memastikan insentif diarahkan tepat sasaran. Sehingga koordinasi para pemangku kepentingan diperlukan dalam mendorong pertumbuhan kredit yang berkontribusi pada visi keuangan berkelanjutan.

Dalam menjembatani paradoks tersebut, Bank Indonesia mendorong kebijakan ekonomi keuangan hijau yang just, orderly dan affordable seperti mendorong cakupan insentif secara bertahap diperluas selayaknya promosi investasi energi terbarukan serta pembiayaan green energy, loan to value (LTV) hijau dan uang muka untuk pembiayaan perumahan maupun kendaraan bermotor berwawasan lingkungan melalui kredit hijau.

Sebagai penutup, peran Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) dalam ekonomi hijau berkelanjutan adalah alat yang kuat untuk memajukan transisi energi menuju masa depan yang lebih bersih, asalkan digunakan secara bijak, seimbang dan berkelanjutan. Hal ini mencerminkan komitmen terhadap keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. KLM menjadi landasan kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya berkelanjutan tetapi juga bertanggung jawab secara lingkungan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun