Mohon tunggu...
beni sutrisno
beni sutrisno Mohon Tunggu... -

Pekerja, pembaca, perasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mobil dengan stiker "follow Jesus"

6 April 2011   01:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:05 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan analogi yang tidak terlalu tepat, ramai berita tentang sebuah partai yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan, bersitentang dengan kemewahan dan otoritarianisme elite pucuk pimpinannya, mungkin adalah seperti Mobil dengan stiker "Follow Jesus" yang saya sua pagi ini.

Bagi saya, semestinya mobil adalah mobil, dengan segala mesin, body, ban dan segala asesorisnya, serta di kendalikan oleh supir untuk tujuan si supir.
Menjadi bias bila kemudian mobil itu ditempeli "Follow Jesus" dan kemudian masuk jalur bus way di depan Twin Plasa Slipi.
Pasti pelanggaran tersebut adalah karena kesalahan supir dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Jesus dan segala ajarannya.
Saya sebagai mobil yang dibelakangnya dan setiap orang lain yang juga membaca stiker tersebut dan tahu kelakuan mobil tersebut seharusnya paham bahwa "Follow Jesus" dan kelakuan supir adalah dua hal yang jauh berbeda.

Mobil tersebut adalah mobil. Just mobil. Dan tidak akan merubah maknanya dengan atau tanpa stiker tersebut. Kalaupun di salib pun pasti adalah hanya karena lambat dan bukan karena alasan lain yang lebih mulia, penebusan dosa misalnya.
Anggapan yang sama juga semestinya berlaku untuk mobil lain dengan stiker sejenis. Stiker hijau tulisan arab putih "Ishadu bi anna mulimun" misalnya.

Dengan menarik pelajaran yang terkandung dalam kejadian diatas maka (menurut saya) ;

Agama sebagai sesuatu yang sakral, eksklusif dan mengandung hal-hal yang harus diimani serta pastilah mengajarkan segala kebaikan untuk tujuan keselamatan dunia dengan janji keselamatan akhirat. Agama tidak riuh dan hingar bingar. Agama akan tetap agama dengan segala kebenarannya dengan berapapun jumlah pengikutnya.
Sedangkan partai politik, pasti adalah sesuatu yang profan yang mengandalkan logika dan segenab usaha, segala slogan, baliho, plang, banner dan iklan untuk mencapai tujuan dari partai tersebut. Tentu tanpa berpanjang debat, kita semua setuju bahwa partai politik mengajarkan segala kebaikan yang perlu dan cocok demi tujuan kemashuran dan kekuasaan dari partai politik tsb.

Sebagaimana semua yang profan, maka partai politik akan sangat mungkin atau pasti berpotensi salah, melenceng atau keliru, dan oleh karenanya perlu diingatkan, didebat, didemo serta dibuktikan dengan pasang surut perolehan suara.
Dan menarik agama kedalam 'pelukan' partai politik, dengan tidak menyebut sbg menjualnya sebagai alat pendulang suara, adalah seperti akan membawa agama menjadi sesuatu yang profan juga, debatable juga, yang kemudian menjadi layak di demo dan dimaki.

Atau kalau kembali ke analogi diatas, menarik agama ke partai politik adalah seperti menempelkan stiker tsb, bukan hanya dimobil pribadi tetapi di bis angkutan umum. Yang mana sang calo menjanjikan kepada penumpang tujuan dari bis adalah persis sama dengan tujuan stiker. Yang nantinya penumpang yang naik akan menganggap bahwa yang tidak berkenan naik, atau naik tapi lalu ditengah jalan protes tentang cara bus tersebut dikemudikan, sebagai musuh stiker yang juga berarti sbg musuhnya.

Maka (sekali lagi menurut saya) bis yang baik adalah bis yang tanpa stiker2 semacam itu, tanpa stiker2 agama, stiker suku, stiker ras, stiker golongan. Bis yang baik adalah bis dengan tujuan yang jelas disertai detil rute utama dan rute alternatifnya, list harga tiket yang jelas dan up date, serta tidak juga mengatakan bahwa supir can do no wrong (krn supir ternyata adalah putri dari bekas presiden supir pertama).
Nantinya sejarah terminal akan mencatat bahwa bis tersebut adalah bis yang baik. Yang selalu mencoba teguh dengan tujuannya, tidak pernah ngemplang karcis dari penumpangnya, crew yang sopan dan terampil dan sebagainya dan sebagainya, sebagai mana layaknya bis yang baik yang diidamkan semua penumpang.
Lalu orang akan berebut naik bis tersebut. Lalu bis tersebut akan ramai. Dan orang akan banyak terangkut ke tujuan yang diinginkan bersama.

Kelak, kelak dikemudian hari orang akan mulai mahfum bahwa ternyata bis tersebut dapat menjadi seperti bis spt yang sekarang karena ternyata awak bis tersebut mendasarkan pengbdiannya sesuai dengan kaidah tertentu, agama tertentu. Bukan karena stiker tertentu, label tertentu.

Demikian,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun