Mohon tunggu...
Beni Sutanto
Beni Sutanto Mohon Tunggu... Relawan - Tertarik pada sejarah,sastra,seni dan budaya. Belajar mengalami dan belajar menulis

Tidak banyak cerita tentang saya, kalau hidup hanya sekali sudah itu mati maka saya memilih hidup tidak hanya sebagai satu orang.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Berdamai dengan Belanda melalui Sepakbola

13 Mei 2024   15:58 Diperbarui: 13 Mei 2024   16:57 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atas Tim Hindia-Belanda Piala Dunia 1938 / ( dikutip dari the-AFC.com), bawah Timnas Indonesia 2024

Performa timnas Indonesia yang meningkat belakangan ini menciptakan fenomena nostalgia masa kolonial Belanda atau masa Hindia-Belanda,berkat  menyatunya pemain lokal dengan pemain naturalisasi dan diaspora terkhusus pemain yang lahir atau yang mempunyai darah Belanda dalam satu panji. 

Hubungan historis antara Indonesia dan Belanda memiliki dampak besar di dunia sepakbola, FIFA mencatat Hindia-Belanda/Indonesia adalah negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia pada 1938, dimana saat itu squad diisi dengan komposisi  pemain multi etnik dan multi ras yang hampir mirip dengan sekarang yaitu percampuran anatara pemain yang lahir di tanah air maupun mereka para keturunan yang leluhurnya berdiaspora ke luar negeri.

Peningkatan kualitas timnas sepakbola Indonesia tidak terlepas dari perpaduan antara pemain lokal dengan pemain keturunan atau naturalisasi, tidak dapat dipungkiri keberadaan pemain naturalisasi yang didominasi oleh pemain keturunan Belanda yang tidak sembarangan dipilih memberikan dampak signifikan terhadap kualitas permainan timnas terutama di kelompok umur di bawah 23 tahun dan senior, dengan adanya variasi pilihan dalam daftar nama timnas sehingga terjadi kompetisi antar pemain agar menjadi pilihan utama pelatih Shin Tae Yong, hal ini berdampak pada peningkatan daya juang dan daya saing masing-masing pemain. Sebenarnya isu naturalisasi dan diaspora (dalam hal ini mereka yang lahir di Belanda atau memiliki darah Indo-Europanen) ini agak sensitif untuk dibahas mengingat sejarah antara Indonesia-Belanda banyak meninggalkan luka dan kebencian yang dicatatkan serta dituturkan secara turun temurun sehingga harmonisasi hubungan Indonesia-Belanda pasca kemerdekaan tidak berlangsung mulus, di balik fakta Belanda mengeksploitasi manusia, hasil kekayaan alam,intrik politik dan kekejaman perang  jarang sekali buku dan guru-guru sejarah kita menyebut tentang babak-babak non-konflik, pada kenyataannya sejarah tidak hanya tentang pertumpahan darah atau siapa menang atas siapa sejarah menciptakan babak dan elemen-elemen baru dalam kehidupan, peradaban Eropa yang notabene lebih maju juga membawa dampak bagi kehidupan di Nusantara yang ketika itu masih hidup sangat tradisional dan belum begitu akrab dengan ilmu pengetahuan modern, bangsa Eropa pula yang memperkenalkan dunia kepada Nusantara mereka membawa budaya modern seperti teknologi, sistem perekonomian, sistem pendidikan hingga olahraga. Singkatnya dalam bidang olahraga keberadaan orang-orang imperial  ini membuat kita mengenal sepakbola, stadion, klub dan kompetisi hingga sepakbola yang kita nikmati sekarang tidak lain adalah berkat keberadaan mereka. Di sisi lain keberadaan mereka juga menimbulkan gairah baru untuk berolahraga di kalangan masyarakat luas, lama kelamaan olahraga modern yang awalnya hanya bisa dimainkan dan disaksikan oleh mereka kaum Elite dan Priyayi ini akhirnya secara luas memasyarakat dan semakin popular.

Dampak panjang dari rangkaian sejarah ini memunculkan para pegiat dan pelaku yang berasal dari kalangan Pribumi atau non-Eropa, dekade 1910-1920'an mulai muncul klub-klub sepakbola seperti VVB,PSM yang saat ini masih bisa kita saksikan eksistensinya, dari klub-klub ini lahirlah embrio PSSI yang menjadi wadah bumi putera sebagai  bentuk tandingan dari federasi NIVB/NIVU. Tahun 1938 ketika Piala Dunia diadakan untuk ketiga kalinya di Perancis Hindia-Belanda adalah negara pertama yang mewakili benua Asia karena Jepang batal ikut  saat itu pemain Hindia-Belanda diisi oleh pemain pilhan NIVU karena terjadi perselisihan dengan PSSI yang tidak mau mengikut sertakan pemain mereka, pemain yang diberangkatkan ke Perancis kala itu terdiri dari pemain Indo-Eropa, Tionghoa dan Pribumi. Dari sini telah terjadi polarisasi karena PSSI di bawah Soeratin menganggap tim Piala Dunia 1938 di bawah NIVU terlalu Belanda tidak mencermikan Indonesia, sehingga timbul sentimen untuk tidak menganggap tim itu bukanlah Indonesia, padahal di dalamnya banyak pemain pribumi dan faktanya orang Indo-Eropa maupun Tionghoa pun semua adalah warga negara yang memiliki status sama. Garis waktu berlanjut saat pendudukan Jepang hampir semua aktifitas sepakbola dan olahraga betul-betul dibatasi bahkan mati suri, Jepang yang begitu anti barat melarang seluruh aktifitas yang berbau dan berafiliasi dengan Belanda.  Lama berlalu sepakbola Indonesia mengalami perkembangan dan pasang surut dari masa ke masa, melewati era revolusi, pergantian orde, era reformasi  menembus era millennium dengan segala dinamika bahkan kita pernah mengahadapi sanksi FIFA, yang semua itu seperti rantai yang tersambung hingga kita berada di titik baru dengan gairah sepakbola yang berbeda yang bisa kita rasakan saat ini.

Pada tulisan di atas saya sempat menyebutkan  perbaikan hubungan antara Indonesia-Belanda berlangsung cukup alot, walaupun sudah lebih dari 70 tahun kita lepas dari belenggu imperialisme selalu timbul konflik dan kontroversi dalam setiap komunikasi perbaikan hubungan antar kedua negara. Berbeda dengan hubungan Indonesia-Jepang  yang berlangsung begitu mesra hubungan ekonomi,politik, alih teknologi antara kedua negara berlangsung hampir tanpa cacat, bagaimana Jepang mampu menguasai indutri otomotif dan teknologi dalam negeri, belum lagi gempuran budaya populer seperti  game,musik dan anime yang dengan begitu mudahnya diterima oleh pemuda-pemuda kita bahkan kadang dengan bangganya meletakkan hal-hal jejepangan ini sebagai bagian dari hidup dan budaya mereka, belum lagi karakter budaya baru yang disebut dengan wibu yang secara terang-terangan mengidentifikasi  dan mengimitasi diri seseorang sebagai bagian dari karakter budaya Jepang, mirisnya kebanyakan orang yang disebut wibu ini begitu terobsesi dengan budapa pop Jepang mereka melupakan dan mengacuhan budaya asli bangsa, mereka gagal memahami kondisi sosial dan budaya di lingkungan mereka tinggal, hal ini begitu aneh mengingat Jepang juga menjajah Indonesia selama 3,5 tahun yang sama saja menimbulkan penderitaan rakyat dan luka sejarah yang membekas, apakah budaya Jejepangan ini tidak dianggap sebagai penjajahan dalam bentuk baru, namun kenyataannya kita dengan begitu santainya bisa berdamai dengan Jepang dalam waktu yang relatif singkat, memang kadang kita sendiri menutup mata pada kenyataannya kehadiran Jepang membawa manfaat pula.

Kalau kita bisa berdamai dengan Jepang, kenapa kita tidak bisa melakukannya terhadap bangsa Belanda?

Jawaban ini bukanlah jawaban mutlak, tetapi berkaca pada literasi sejarah yang ditururkan pasca-kemerdekaan narasi tentang kejahatan Belanda begitu panjang dan tebal ditulis dalam buku pelajaran sejarah kita, sejak sekolah dasar kita ditanamkan bahwa kita dijajah oleh bangsa barat selama 3,5 abad selama itu kita selalu digambarkan sebagai bangsa yang menderita dan serba dirugikan, sejarah disampakaikan dalam satu narasi yang sama secara turun temurun inilah yang membuat mental kita sebagai bangsa terjajah sulit hilang dan kebencian terhadap Belanda terus mendarah daging. Sudah barang tentu kita tidak boleh meninggalkan sejarah bangsa, namun kita juga tidak boleh tenggelam di dalamnya, kita sebagai generasi penerus harusnya bisa mengukir sejarah dan masa depan baru yang lebih baik, sebagai bangsa yang luwes kita harus mulai membuka pintu perdamaian dengan siapapun seperti yang  diamanatkan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 tentang perdamaian dunia. Maka saat ini kita sebagai generasi emas Indonesia harus bisa berdamai dengan Belanda salah satunya melalui sepakbola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun