Kematian Didi Kempot menyisakan luka yang amat mendalam bukan hanya untuk Sobat Ambyar,Kempoters,Sadboy dan Sadgirl julukan untuk fans Didi Kempot, namun juga menjadi duka yang begitu perih untuk dunia hiburan dan kesenian tanah air, terutama kesenian Jawa.
Siapapun tidak ada yang menyangka kepergian Didi Kempot akan secepat ini, ditengah karirnya yang sedang melejit setelah melalui proses reborn atau reinkarnasi hingga munculnya kembali fenomena Didi Kempot yang kali ini tidak hanya berlabel penyanyi Campursari Jawa namun ia lahir kembali sebagai “The God Father of Broken Heart” bapaknya patah hati pengisi soundtrack kehidupan cinta yang alami.
Awalnya saya tidak ingin melibatkan banyak opini pribadi dalam tulisan ini saya hanya ingin menyambung beberapa wacana dan artikel tentang apa yang akan terjadi setelah kepergian beliau, namun karena saya dalam beberapa event sempat bersinggungan dengan beliau terutama saat di belakang panggung saya menyaksikan langsung sosok seorang yang pria Jawa yang tulus, sederhana yang tidak ingin dipanggil bintang dan memandang dirinya sama dengan pekerja hiburan lain, namun sebenarnya ialah bintang yang bersinar paling terang diatas panggung, ia juga adalah Rembulan yang menyinari hati-hati patah dalam kegelapan malam ,disaat yang sama ia juga Mentari yang sinarnya bak memberikan harapan.
Belum pernah dan bahkan mungkin tidak akan pernah lagi saya jumpai seorang penyanyi yang begitu dicintai lintas suku dan bangsa, penyanyi yang mempu mengombang-ambingkan emosi penonton sedemikian dalamnya sehingga sering kita jumpai orang menangis saat menyaksikan Didi Kempot melantunkan tembangnya namun tidak hafal sama sekali liriknya bahkan tidak mengerti bahasa Jawa, penyanyi dalam negeri.
Didi Kempot sendiri lahir di Ngawi dan dibesarkan di Solo oleh keluarga seniman, darah seni mengalir dari sang bapak Mbah Ranto Gudel yang dikemudian hari menjadi inspirasinya menciptakan lagu “Bapak”, namun Didi Kempot tidak mau hidup mengekor nama sang bapak ia menentukan jalan hidupnya sendiri dengan menjadi pengamen jalanan di Kota Solo mulai dari Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi hingga tempat-tempat diluar Solo yang memiliki kesan dan kenangan untuknya yang kemudian ia tuangkan dalam beberapa lagu.
Perjalanan yang akhirnya membawanya menapaki karir di Ibukota medio 80’an ia masih menyanyi dari trotoar ke trotoar, disaat yang sama sang kakak Mamiek Prakoso sudah lebih dulu menjejakkan kakinya di Jakarta bersama grup legendaris Srimulat, Mamiek bahkan sudah jauh-jauh hari kondang sebelum sang adik mencicipi kehidupan di Ibukota.
Namun lagi-lagi Didi tidak mau hidup dibawah bayang-bayang sang kakak ia masih saja menapaki pinggiran jalan Slipi-Pal Merah. Sampai tiba waktunya Didi Kempot memasuki dapur rekaman, album pertama Didi Kempot yang juga ia kerjakan bersama Mamiek tidak terlalu menarik di pasar dalam negeri, tetapi malah mendapatkan lirikan dari Suriname dan Belanda melalui lagu yang jarang didengar orang yaitu We Cen YU (Kowe pancen ayu).
Singkat cerita setelah itu lagu-lagunya mulai diterima masyarakat kemudian Booming di awal 90’an Stasiun Balapan,Cidro,Terminal Tirtonadi,Tanjung Emas Ninggal Janji hingga ratusan lagu lainnya yang dikemas dalam puluhan album. Berbagai penghargaan pun pernah ia sabet seperti AMI Award sampai melanglang buana ke Suriname dan Belanda negeri-negeri yang memberikan kredit lebih terhadap penyanyi satu ini.
Namanya sempat pasang surut di blantika musik tanah air, namun ia menemukan dirinya kembali dipertengahan 2018 diantara jutaan manusia sedang mencari irama untuk mencurahkan hati isi hati mereka “Ambyar”, Ambyar bukan hanya sebuah kata yang bermakna hancur, Ambyar versi Didi Kempot adalah emosi jiwa dan juga ekspresi manis getir kehidupan cinta.
Tidak hanya Campursari, Didi Kempot juga penyanyi yang multi genre ia juga menyanyi Keroncong dan Dangdut, sampai ia mengembangkan apa yang kemudian kita sebut sebagai Pop Jawa. Jika diperhatikan dalam beberapa penampilanya Didi Kempot selalu mengenakan busana Beskap Jawa lengkap dengan Blangkon Surakarta, salah satu kebanggaan mengingat tidak ada penyayi jaman sekarang yang berani tampil megenakan pakaian tradisional.
Didi Kempot adalah seorang ksatria layaknya “The Last Man Standing” melawan gempuran musik-musik barat dan K-Pop yang seolah menjadi penjajah dalam bentuk lain.