Hampir saja Saya sujud syukur kala menemukan sebuah rumah makan Padang di Bangkok. Tidak asli rumah makan seperti rumah makan Sederhana atau Pagi Sore yang terkenal di berbagai kota di Indonesia. Bahkan masih jauh rasanya jika dibandingkan dengan lapau nasi (warung nasi) Padang Doa Mande yang cuma punya kursi buat empat orang. Tetapi ini sudah membuat Saya senang sekali. Tidak perlu lagi ke McD ataupun KFC. Memang, urusan perut ini adalah urusan yang cukup krusial buat Saya. Hampir sepuluh tahun Saya merantau jauh dari kampung halaman Saya di Solok, sebuah kota kecil nan asri di Sumatera Barat. Enam tahun tinggal di Bandung, dan sudah lebih dari tiga tahun ini Saya menetap di Jakarta. Sepanjang waktu itu, sudah berulang kali pula Saya terbang ke negara tetangga ataupun ke Eropa sana. Tapi tetap saja, perut Saya cap rumah makan padang. Tapi kalau anda bilang ini cuma urusan perut semata, anda salah besar. Ini adalah tentang filsafat kehidupan. Yang menentukan baik buruknya seseorang dalam kehidupan. Ahahaha, tidak seserius itu kok. Tetapi kadang jika kita berkenan meluangkan hati sejenak, ada banyak hal baik yang bisa kita temukan, seperti yang dulu Saya pernah cerita tentang konsep kecukupan rejeki Uda dan Uni di rumah makan Doa Mande. Sungguh menakjubkan buat Saya. Dan makan di sebuah rumah makan kecil di Bangkok dengan masakan Padangnya membuat Saya teringat kembali akan kisah Saya dengan Papa sekitar lima belas tahun silam. Bukan masakannya, tetapi sebuah tulisan dengan bahasa Thailand yang artinya “Jika Anda puas beritahu teman, Anda tidak puas beritahu kami.” Pernah atau sering melihat tulisan seperti ini? Saya yakin, yang sering makan di rumah makan Padang pasti terbiasa melihat tulisan ini. J Saya ingat, waktu itu tahun pertama Saya di SMP. Kebetulan SMP tersebut bukanlah SMP yang di dekat rumah, dimana teman-teman SD dan teman-teman sepermainan Saya setiap hari bersekolah. Dengan beberapa pertimbangan, Saya memutuskan untuk masuk SMP 1, sekolah favorit yang berlokasi di tengah kota. Teman yang Saya kenal bisa dihitung dengan jari, jadi bisa dibilang selain lingkungannya yang baru, teman-temannya juga baru semua buat Saya. Dan pengalaman dengan teman-teman baru inilah yang tidak mudah buat Saya. Hampir setiap hari Saya pulang dengan cerita berbagai kelakuan teman sekolah. Hampir setiap makan malam, keluarga Saya mendengarkan keluhan Saya tentang berbagai perilaku buruk teman di sekolah, yang tak jarang membuat Saya merasa sangat terganggu. Dan tidak sekali pula Saya bercerita tentang perilaku para guru di sekolah. Ibu dan kakak-kakak Saya selalu dengan sabar mendengarkan, namun tidak dengan Papa. Papa tidak pernah berkomentar. Bahkan pada satu waktu Papa memarahi Saya karenanya. Saya tak habis pikir. Saya kan bercerita meminta dukungan, kenapa yang ada malah dimarahi. Hingga satu waktu Papa mengajak Saya makan di rumah makan Padang (Saya sebenarnya tidak bisa bilang rumah makan Padang, karena toh tidak ada rumah makan Padang di Sumatera Barat, ahahaha). Bukan sekali saja. Dalam satu minggu bisa tiga hingga empat kali kita ke rumah makan, dan rumah makannya selalu berganti. Ini di luar kebiasaan sama sekali. Punya Ibu dengan kemampuan memasak masakan padang paling enak sedunia, sangat-sangat-sangat jarang sekali kita terpikir untuk makan ke luar. Walau masakannya kalah dibanding masakan Ibu, tetapi karena ini pengalaman baru, Saya selalu antusias menemani Papa, walau selama makan Papa juga tidak banyak bercerita. Pengalaman makan dibelasan rumah makan, membuat Saya menjadi seorang pengamat rumah makan dadakan. Tak peduli apapun nama rumah makannya, cara menghidangkan masakan, tata ruangan, ataupun jenis musik yang diputarkan, semuanya sama. Juga termasuk satu hal yang ada di setiap rumah makan yang kita kunjungi. Sebuah papan di atas pintu keluar yang bertuliskan “Anda Puas Beritahu Teman, Anda Tidak Puas Beritahu Kami”. Enakan si rumah makannya dunk, pikir Saya. Dan pada satu malam, ketika Saya sedang bersemangatnya bercerita lagi-lagi tentang kelakukan buruk seorang teman, yang bahkan sekarang dijauhi oleh teman-teman sekelas, tiba-tiba saja Papa memotong dan bertanya, “Beni, kamu pernah bilang langsung sama teman kamu yang bermasalah itu? Dan pernahkah kamu berpikir apakah kamu ada andil dalam kesalahan itu?”. Saya terdiam. Puluhan mungkin ratusan kali, puluhan dan mungkin ratusan orang pula yang sudah Saya ceritakan tentang kelakuan buruk si teman itu. Tetapi tidak sekalipun Saya menyampaikan kepadanya. Saya juga tidak pernah memikirkan apakah kesalah itu karena Saya juga. Tersentak, Saya malu saat itu. Dan, tersentak Saya sangat malu saat ini, saat membaca kembali tulisan tersebut. Dalam satu hari, entah berapa kali Saya bercerita dan membicarakan keburukan orang lain, entah itu teman atau atasan di kantor, teman bermain, atau siapapun. Setiap hari pula Saya selalu bercerita dan berkeluh kesah kepada Istri akan keburukan orang lain dalam sudut pandang Saya. Tapi pernahkah Saya menyampaikannya kepada orang tersebut? Pernahkah Saya mengutarakannya langsung agar orang tersebut memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri jika memang ada yang salah? Hari-hari belakangan ini kita memang sebegitu mudahnya menyebutkan kesalahan dan keburukan seseorang kepada orang lain. Tetapi sungguh jarang tentang kebaikannya. Apalagi dengan berbagai media sosial yang belakang ini kita kenal. Dengan mudahnya kita berkicau hal buruk tentang seorang, mengabarkan pada dunia, tanpa berpikir apakah itu memang benar adanya, dan jikapun benar mengapa tidak keorangnya kita sampaikan dengan baik. Bukankah jatuhnya itu fitnah? Dan sadarkah kita orang-orang yang mendengarkannya juga akan terpancing untuk berpikir buruk tentang orang tersebut? Sungguh beruntung rasanya Saya menemukan rumah makan kecil ini di Bangkok, mengingatkan Saya kembali akan pelajaran dari Papa yang sempat terlupakan. Dan sungguh lebih beruntungnya lagi Saya memiliki istri yang selalu dengan senyum dan sabar mendengarkan Saya berkeluh kesah, namun menenangkan hati dan menuntun Saya untuk tetap berpikir hal baik tentang orang lain. Terimakasih, Saya mau makan nasi padangnya dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H