Mohon tunggu...
Beni Suryadi
Beni Suryadi Mohon Tunggu... -

Sekarang bekerja dan bermain menikmati hidup di Jakarta. Sesekali senang menulis tentang berbagai hidup dan semua hal yang berhubungan di blog http://benisuryadi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nasionalisme di Bandara

14 Mei 2011   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sungguh, seakan rasa nasionalisme dan kebanggaan saya terhadap negara kesatuan republik Indonesia yang tercinta ini seakan goyah sewaktu tanpa sengaja menguping pembicaraan sekelompok Ibu-Ibu dari belakang kursi Saya duduk di pesawat. “Aih, jaman sekarang, walaupun anak perempuan saya ga cantik atau ga pintar ga masalah, yang penting dia jago bahasa Inggris, biar nanti dapat suami bule, hidup makmur”.

Ayih, ayih…… terus terang saya tidak menemukan kata yang sesuai untuk mengekspresikan perasaan saya saat mendengar percakapan tersebut.

Lah, terus apa hubungannya dengan nasionalisme yang goyah?

Pekerjaan yang sekarang memungkinkan Saya untuk mengunjungi beberapa negara. Pengalaman baru tentunya bagi Saya yang selama ini hanya menyaksikan negara lain dari layar televisi. Dan tentu saja ada banyak hal baru yang Saya lihat dan Saya rasakan ketika Saya mengunjungi negara-negara tersebut. Sebuah kesan yang di dapat.

Singapura dan Thailand, dua negara tetangga yang sudah berulang kali Saya kunjungi.

Singapura, sebuah negara kota dengan kemajuan pembangunan fisiknya yang luar biasa. Gedung-gedung menjulang tinggi. Bangunan-bangunan wisata berpadu dengan baik di kerumunan kota. Transportasi umumnya juga sungguh baik. Pengendara dan pejalan kaki berlaku dengan sangat tertib. Dan bersih, ya kotanya begitu bersih. Sangat jarang sekali Saya temukan sampah yang berserakan di jalan. Sunggu ini adalah kekaguman tersendiri buat Saya yang selama ini hidup di lingkungan yang sudah terbiasa dengan sampah yang berserakan. Saya takjub melihat bagaimana orang-orang di sini begitu patuhnya untuk buang sampah pada tempatnya. Dan bicara kualitas hidup, saat menaiki MRT menuju bandara, Saya melihat sebuah poster yang kira-kira bertuliskan, “warga yang berpenghasilan kurang dari $ SGN 1,500 (sekitar sepuluh juta lebih) akan mendapatkan bantuan dari pemerintah.” Walah, luar biasa sekali negara kota ini.

Thailand, bisa dibilang kota dengan perpaduan budaya dan bangunan tradisional dengan gedung-gedung modern yang luar biasa. Seperti di Bali, patung-patung budaya dan agama tertata dengan indahnya di setiap suduh bangunan tinggi. Di tengah kesibukan kota, masyarakan dan terutama turisnya disuguhi keramahan dan keindahan budaya mereka. Sampah memang mudah ditemukan di jalanan di kota ini, begitu juga dengan perumahan kumuh. Tetapi tetap saja tata kelola kota, keramahan masyarakatnya, juga dengan berbagai fasilitasnya; Monorail, ya sebuah kereta nyaman yang mengantarkan kita dari bandara ke tengah kota dengan cepat. Sungguh luar biasa kota ini membangun dirinya. Saya kagum akan orang-orang Thailand yang begitu luar biasa, padahal belum lama ini mereka tertinggal dibanding kita.

Lebih jauh, negara Prancis. Sudut bangunan bau kencing, jalanan penuh tahi anjing, bukanlah sesuatu yang aneh di kota Paris, yang merupakan tujuan utama wisatawan dunia. Tetapi lihatlah bagaimana kota ini menjaga bangunan tuanya dengan begitu mempesona. Rasakan bagaimana kota ini mampu membuat rasa romantisme kita begitu bergelora. Setiap sudut kota begitu indahnya. Kota ini juga punya banyak sekali taman tempat masyarakatnya bisa bersantai menikmati hari, bercengkrama bersama keluarga dan kerabat. Sesuatu yang sungguh jarang sekali ada di kota Jakarta, tempat Saya bermukim sekarang. Sunggu Saya bergitu terkesima akan kota, negara dan orang-orang negeri ini.

Pengalaman-pengalaman ini tak jarang menuntu Saya pada pertanyaan, kenapa bangsa Saya tak seperti ini. Kenapa bangsa orang begitu menariknya.

Dan dari pengalaman ke berbagai negara tersebut, tentu saja Saya makin mengenal bandara-bandaranya seperti Changi di Singapura, Suvarnabhumi di Bangkok, Charles de Gaulle di Paris, atau Abu Dhabi airport yang sering jadi tempat persinggahan Saya ketika ke eropa. Satu parameter ini saja, urusan airport saja, bayangkan betapa tertinggalnya negara kita dengan bandara Soekarno Hattanya. Kalau jauh bet! Malu rasanya.

Mengeluh soal bandara, ini lah topik utama pembicaraan Saya dengan seorang Bapak yang kebetulan duduk di sebelah Saya di pesawat pulang dari Bangkok kemaren. Heran juga Saya ketika dia tidak banyak menanggapi apa yang Saya keluhkan. Sampai pada saat kita turun dari pesawat, si Bapak tersebut tiba-tiba menarik tangan Saya, mengajak Saya berbelok arah. Mnuntun Saya berjalan menyusuri sisi ruangan di bandara tersebut, lalu beliau bertanya “adakah bandara lain di dunia ini yang kamu temukan dengan dinding berukir nilai-nilai budaya seperti ini?”, “adakah bandara lain yang tata ruangnya begitu indah dan terarah, tak sekedar ruang besar terbuka saja seperti di Singapura atau Thailand?”, “adakah bandara yang memancarkan aura ketenangan, bukan jualan dan nilai komersialitas semata seperti di sini?”, tanya beliau tanpa henti. Kecil, iya, karena dulunya bandara ini tidak dirancang untuk pejumlah yang begit banyak seperti sekarang. Agak kotor iya, tapi itu cuma masalah sikap manusianya yang perlu kita ingatkan. Tidak berteknologi canggih, memang, tetapi cukup untuk membuat kita menempatinya dengan baik. Dan ruang sholatnya ada di mana-mana, adakah kamu temukan di Bangkok, Singapur, ataupun di Paris sana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun