Mohon tunggu...
Swarna
Swarna Mohon Tunggu... Lainnya - mengetik 😊

🌾Mantra Terindah🌿

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sketsa ke 4, Puisi Anarki yang Tertinggal, Bagaikan Seteko Kopi Begawan Kenthir yang Nikmat

24 Agustus 2021   16:12 Diperbarui: 24 Agustus 2021   18:10 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sejarah saling menyumbang bait puisi sudah ada pada sebuah grup WA yang memang didirikan untuk belajar membuat atau menulis puisi bersama.

Keseruan itu ada kala nyawer dan saling mengoreksi, apakah bait satu, dua, tiga, dan seterusnya nyambung atau ambyar.

Merangkai kata menjadi kalimat yang beraura, atau menuliskan diksi yang memesona waktu itu sungguh alot tiada terkira. Para pakar puisi mas Zaldy dan Mbak Lilik konon selalu memotivasi teman yang belajar membuat bait puisi. Taklupa alm Daeng Arman menyelingi dengan videonya menyanyi sambil main gitar.

Lalu entah apa awalnya tiba-tiba sepi, sunyi. Takada lagi puisi nyawer hampir dua tahun. Saya pribadi merasa garing saja. Tapi banyak teman kan tidak mungkin memaksakan suatu kebiasaan.

Namun bila tradisi itu masih ada pastilah senang juga, sembari menambah pengetahuan baru, kosa kata baru atau diksi memesona dan sebagainya.

Ndilalah, Engkong eFTe mengawali dengan melempar sebait kata bijak, eh kata mutiara, eh bait puitis di sebuah grup WA, yang pada akhirnya mampu mengajak beberapa anggota ikut nyumbang bait-bait puisi.

Kerinduan saya pada masa penjajahan eh penjajakan belajar puisi terobati sudah. Dalam beberapa hari ini kami membuat sketsa-sketsa sajak memesona tentunya pakar puisi yang mengawali, dan berani menampilkan ke media dalam artikel atau puisi yang utuh. Seru.

Tapi tetap saja saya selalu ketelatan nyawer. Entahlah hehehe
Seperti pagi tadi 3 sketsa puisi apik telah terangkai dengan bagus, saya baru join ke grup, iseng saja bertanya, apa ada sketsa ke 4?
Ternyata artikel sudah siap tayang.

Saya putuskan untuk menunggu para master membuka sketsa baru.
Tiada disangka tiada dinyana, Engkong mengawali bait puisi untuk Sketsa 4 yang begitu bersahaja.

"Wow, mencabik-cabik rasa. Sakitbya luat biasa nikmat. Kolaborasi para buaya-buaya puisi K. Tadinya mau nyumbang sketsa 4"

Luapan hati yang terdalam dengan apa adanya, akibat tidak bisa nimbrung semalam. Lalu dari gang sapi yang indah beliau membuka Sketsa 4

Sketsa 4.

"Tidak. Kau taktahu sakitnya koma, dan pedihnya titik. Sakitnya menanti hati, pedihnya akhir tak sudah. Koma, titik."
Hahaha

Menyoal tanda baca yang selalu menghiasi bait puisi sejagad raya, bahkan judul sebuah film nasional. Dua tanda ini memang sangat penting. Begitu bukan?

Setelah itu dengan bergurau, bait Engkong disambung oleh Swarna, dia ngasal saja

Pedihnya titik tanpa tanda petik
Tak perlu lagi koma untuk menegaskan tanda tanya
Tak ada tanda seru untuk memastilan sebuah kata
Cukup jelas dengan titik

Bait ini membuat keisengan teman lain untuk saling berbagi tawa agar pagi tetap ceria. Seperti mas Warkasa yang menambahkan tanda titik-titik juga Mbak Widz yang memberi ruang dan catatan bagi teman lain yang mau nyawer.

Berikutnya Mas Arif pak guru penyuka kata puitis, Maz Zaldy pakar tunggu, dan Pak Kate sebagai raja Fiksiana juga menyumbangkan bait-baitnya tanpa omong kosong

Sebegitu dangkal makna titik yang kau jejal
Sedangkan rasa ini, sudah cukup jauh kau buat mual
Selalu salahkah tanda seru dan koma yang aku pintal? (
mas Arif)

Bagaimana bisa mengarsir segaris rasa tanpa titik? Seperti sepenggal bait-bait sufi yang berujung koma. Hingga jejak asa pun terkurung tanya. (maz Zaldy)

Apa jadinya menulis kata demi kata bila tanpa tanda baca tiada titik tiada koma tiada petik  apalagi tanda tanya dan seru beginikah hidup bila bila tiada aturan kacau dan membingungkan akan banyak kesalahpahaman  terjadi sebagai contoh paling tidak pada kata kata yang terbaca ini (Pak Kate)

Puisi anarki perbait yang keluar dari masing-masing pribadi yang berbeda membawa ending yang penuh makna dari Pak Kate. Bagaikan asam di gunung garam di laut, bertemu dalam grup WA. Bagaikan gula dan kopi bersatu dalam teko Begawan Kenthir yang nikmat.

Dan goresan penyelarasan dihadirkan oleh Engkong eFTe

Sketsa Rasa Tanpa Tanda Baca

Tidak. Kau taktahu bagaimana sakitnya koma
dan pedihnya titik.

Betapa sakit menanti hati
dan betapa pedih akhir tak sudah.
Koma, titik, pedih.

Aku tahu. Ya, kutahu betapa pedihnya
Titik tanpa tanda petik.
Tak perlu lagi koma untuk menegaskan
tanda tanya.
Tak ada tanda seru untuk memastilan
sebuah kata.
Cukup jelas dengan titik.

Ah, sebegitu dangkal makna titik yang kau jejal
Sedangkan rasa ini
sudah cukup jauh kau buat mual.
Selalu salahkah tanda seru dan
koma yang aku pintal.

Rasa? Bagaimana kau bisa mengarsir
segaris rasa tanpa titik.
Seperti sepenggal bait-bait sufi
yang berujung koma.
Hingga jejak asa pun terkurung tanya.

Entahlah, aku mungkin masygul.
Apa jadinya mengejakata demi kata
bila tanpa tanda baca.
Tiada titik koma petik
tanya dan seru.
Tidakkah jadi kacau berujung
salah paham seper
ti antara
kau dan aku kini.

Puisi kolaborasi ini semoga selalu membawa warna segar dalam dunia berpuisi seperti halnya minum kopi.

Ada yang mau bergabung?

Ruang Puisi Bersama, 24 Agustus 2021

_____________

Sketsa 4 kolaborasi Engkong eFTe, Swarna, Arif RS, Zaldy Chan, Katedrarajawen

mohon maaf bila tidak sesuai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun