Sketsa 4.
"Tidak. Kau taktahu sakitnya koma, dan pedihnya titik. Sakitnya menanti hati, pedihnya akhir tak sudah. Koma, titik."
Hahaha
Menyoal tanda baca yang selalu menghiasi bait puisi sejagad raya, bahkan judul sebuah film nasional. Dua tanda ini memang sangat penting. Begitu bukan?
Setelah itu dengan bergurau, bait Engkong disambung oleh Swarna, dia ngasal saja
Pedihnya titik tanpa tanda petik
Tak perlu lagi koma untuk menegaskan tanda tanya
Tak ada tanda seru untuk memastilan sebuah kata
Cukup jelas dengan titik
Bait ini membuat keisengan teman lain untuk saling berbagi tawa agar pagi tetap ceria. Seperti mas Warkasa yang menambahkan tanda titik-titik juga Mbak Widz yang memberi ruang dan catatan bagi teman lain yang mau nyawer.
Berikutnya Mas Arif pak guru penyuka kata puitis, Maz Zaldy pakar tunggu, dan Pak Kate sebagai raja Fiksiana juga menyumbangkan bait-baitnya tanpa omong kosong
Sebegitu dangkal makna titik yang kau jejal
Sedangkan rasa ini, sudah cukup jauh kau buat mual
Selalu salahkah tanda seru dan koma yang aku pintal? (mas Arif)
Bagaimana bisa mengarsir segaris rasa tanpa titik? Seperti sepenggal bait-bait sufi yang berujung koma. Hingga jejak asa pun terkurung tanya. (maz Zaldy)
Apa jadinya menulis kata demi kata bila tanpa tanda baca tiada titik tiada koma tiada petik  apalagi tanda tanya dan seru beginikah hidup bila bila tiada aturan kacau dan membingungkan akan banyak kesalahpahaman  terjadi sebagai contoh paling tidak pada kata kata yang terbaca ini (Pak Kate)
Puisi anarki perbait yang keluar dari masing-masing pribadi yang berbeda membawa ending yang penuh makna dari Pak Kate. Bagaikan asam di gunung garam di laut, bertemu dalam grup WA. Bagaikan gula dan kopi bersatu dalam teko Begawan Kenthir yang nikmat.
Dan goresan penyelarasan dihadirkan oleh Engkong eFTe