Sejarah saling menyumbang bait puisi sudah ada pada sebuah grup WA yang memang didirikan untuk belajar membuat atau menulis puisi bersama.
Keseruan itu ada kala nyawer dan saling mengoreksi, apakah bait satu, dua, tiga, dan seterusnya nyambung atau ambyar.
Merangkai kata menjadi kalimat yang beraura, atau menuliskan diksi yang memesona waktu itu sungguh alot tiada terkira. Para pakar puisi mas Zaldy dan Mbak Lilik konon selalu memotivasi teman yang belajar membuat bait puisi. Taklupa alm Daeng Arman menyelingi dengan videonya menyanyi sambil main gitar.
Lalu entah apa awalnya tiba-tiba sepi, sunyi. Takada lagi puisi nyawer hampir dua tahun. Saya pribadi merasa garing saja. Tapi banyak teman kan tidak mungkin memaksakan suatu kebiasaan.
Namun bila tradisi itu masih ada pastilah senang juga, sembari menambah pengetahuan baru, kosa kata baru atau diksi memesona dan sebagainya.
Ndilalah, Engkong eFTe mengawali dengan melempar sebait kata bijak, eh kata mutiara, eh bait puitis di sebuah grup WA, yang pada akhirnya mampu mengajak beberapa anggota ikut nyumbang bait-bait puisi.
Kerinduan saya pada masa penjajahan eh penjajakan belajar puisi terobati sudah. Dalam beberapa hari ini kami membuat sketsa-sketsa sajak memesona tentunya pakar puisi yang mengawali, dan berani menampilkan ke media dalam artikel atau puisi yang utuh. Seru.
Tapi tetap saja saya selalu ketelatan nyawer. Entahlah hehehe
Seperti pagi tadi 3 sketsa puisi apik telah terangkai dengan bagus, saya baru join ke grup, iseng saja bertanya, apa ada sketsa ke 4?
Ternyata artikel sudah siap tayang.
Saya putuskan untuk menunggu para master membuka sketsa baru.
Tiada disangka tiada dinyana, Engkong mengawali bait puisi untuk Sketsa 4 yang begitu bersahaja.
"Wow, mencabik-cabik rasa. Sakitbya luat biasa nikmat. Kolaborasi para buaya-buaya puisi K. Tadinya mau nyumbang sketsa 4"
Luapan hati yang terdalam dengan apa adanya, akibat tidak bisa nimbrung semalam. Lalu dari gang sapi yang indah beliau membuka Sketsa 4