Sudah tiga puluh hari aku ditinggal ibuku, Kakek bilang aku tak boleh bersedih. Nenek juga mengatakan demikian. Tapi aku tak bisa memungkiri, bahwa di dada ini begitu menyesak, seolah terbetot lepas.
Usiaku memang bukan lagi kanak-kanak, tapi dikatakan dewasa juga masih jauh, dibilang remaja sepertinya wajah masih imut, entahlah. Terus terang aku masih cengeng, seperti saat ini. Tidak seperti ketika Bapakku pergi, kehilangan Ibu bagai kehilangan bumi.
Kabar kematian yang silih beganti dari desa sekitar membuatku makin merinding. Beruntung Tuhan melindungi ibuku hingga tidak incovid saat di rumah sakit hingga wafat. Banyak cerita yang mengenaskan yang kudengar dari gerombolan ibu-ibu tentang jenazah yang incovid. Entah ini zaman apa. Kakek buyut, ayah dari Nenekku pernah berkata bila suatu saat akan ada fitnah akhir zaman. Apakah pandemi ini sebuah fitnah? Â Entahlah. Pikiranku kacau saat ini.
Cita-citaku yang setinggi langit telah tumbang ketika Ibu menyusul Bapak. Kalian ingin tahu apa cita-citaku? Jalan-jalan ke luar negeri, entah negeri mana. Biasa kan anak muda yang demam Korea pinginnya ke negeri drama. Kakek Nenekku tertawa terpingkal saat aku katakan tentang hal itu. Wajar, kami orang desa, punya cita-cita ke luar negeri memang mokhal, hanya hayal.
Kumainkan gawai peninggalan ibuku melihat-lihat kabar terbaru. Gawai satu-satunya pengganti guru di masa pandemi. Aku tak bisa membayangkan nanti bagaimana aku belajar tanpa ibu. Kakek Nenekku bukan orang terpelajar mereka hanya tamat SD, sudah cukup lelah bekerja di ladang dan sekarang harus menjagaku.
Andai tidak ada longsor tentu pak dokter bisa datang tepat waktu menolong ibu. Selama musim hujan sudah tiga kali desa kami mengalami tanah longsor yang mengganggu pengguna jalan desa.
Kata Kakek, Â air sungai yang meluap akibat kiriman dari desa sebelah yang datarannya lebih tinggi. Di sana mulai banyak dibangun perumahan, Â pepohonan yang akarnya mampu menahan tanah saat musim hujan sudah jarang ditemui.
Nenek bilang, Â kalau sudah bencana, pemerintah yang jadi sasaran tempat mengadu. Ah pening aku memikirkan masalah orang dewasa. Â Yang membangun rumah siapa yang menempati siapa kalau longsong mengadu ke siapa. Entahlah. Apakah aku juga boleh mengadu tentang rindu sekolah? Tapi aku rasa kerinduan pada orang tuaku masih mengalahkan segalanya.
Kembali kulihat gawai peninggalan ibu ada berita yang aku tak mengerti, kata mas mentri pendidikan ada tiga dosa di sekolah. Aku penasaran, sekolah apa yang ada dosanya? Aku baca ada kata intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan. Apa itu artinya ya?
Aku hanya manggut-manggut ketika aku tanya pada mesin pencari. Hal itu pasti sering terjadi sebelum pandemi.
Ketika semua belajar di rumah tak ada lagi berita kekerasan di sekolah, Â sepi. Berita terkini paling himbauan untuk tidak berlama-lama dengan gawai. Dahulu dilarang pegang gawai, sekarang wajib punya gawai.
Aku masih teringat saat ibu tergopoh pulang dari ladang, Â ibu bilang aku ada tugas yang harus segera dikumpulkan. Karena takut ketinggalan pelajaran sejak saat itu ibu tak pernah lagi membawa gawainya.