Aku masih memegang sapu lidi dan mengayunkan sapu membersihkan dedaunan di pekarangan belakang rumah. Banyak daun bambu yang berjatuhan.
Sejak ibu sakit, kami melarang beliau menyapu pekarangan. Kadang terbiar hingga tumpukan daun bambu menebal, sesekalk kakak yang memyapukan.Â
Jadi teringat masa kanak-kanak kami, menjelang asar semua ke pekarangan kami menyebutnya barongan. Semua ramai-ramai menyapu,  lalu membakar daunnya,  bermain dengan asap yang mengepul membumbung ke angkasa. Walau bau sangit dari asap menempel di badan.Â
Seketika  itu di sela mengenang masa kecil ada ide untuk berswafoto diantara daun bambu yang roboh. Aku segera memanggil kakakku.Â
"Mbak, ayo kita foto ramai-ramai."
Aku teriaki dua mbak yu ku, Â agar segera menyusul ke barongan.Â
Kamipun cekrak-cekrek cekikikan. Takut? Buat apa, Â itu pekaranganku, tempat tinggalku asal tidak malam hari, Â mengapa mesti takut.Â
"Lis, Â ingat tidak dulu kita foto di sawah menjelang surup, pas kiga cetak ada sosok putih duduk memangku anaknya."
"Masih, Â hihihi serem ya, Â untungnya cuma kelihatan di foto gak di mata kita, Â ha ha."
Acara swafoto tetap lanjut, diantara daun bambu yang roboh.Â
"Hey, Â Hey! Â rame cekikikan saja, Â hati-hati!"