“He, em!” Wanita itu hanya mengangguk.
“Kau memang isteri yang baik, dik. Tak sia-sia kakak rela bertarung dengan pemuda kampung sebelah untuk memperebutkanmu. He, he, he!” Tuan Yo tertawa kecil.
“O, ya, andai setiap hari tetap mendung atau di setiap malam tetap gelap gulita, kakak tidak akan risau atau cemas, dik! Sebab di senyummu kakak lihat matahari, dan di matamu kakak lihat rembulan!” Ungkap Tuan Yo lembut.
“Hmm!”
“Hai, kenapa adik senyum-senyum saja dari tadi, tunggu kakak gelitik baru mau bicara, ya?!”
Keduanya saling berkejaran sambil tertawa bahagia.
Bunyi derit pintu di kamar sebelah membuyarkan lamunan Tuan Yo. Pria itu terjajar kelelahan, bagaikan baru selesai mengangkat beban seberat 100 kilogram. Bibirnya bergetar komat-kamit.
“Ya Tuhaaan, kenangan indah masa itu kini datang mengulitiku. Senyum itu! Mata itu! Tawa itu! Okh, Pras, Prasasti?! Oh, Tuhan, apakah ini sebuah kebetulan?”
Tuan Yo menerawang. Ia mencari cara untuk meyakinkan diri.
“Ya, ya, ya! Ini hanya kebetulan semata. Bukankah di dunia ini, banyak kejadian yang hampir serupa dan serba kebetulan? Te, te, tetapi..,”
Mimik muka Tuan Yo menegang. Dadanya bagai ditusuk ribuan jarum. Ia menjerit!