Hangatnya pemberitaan kasus pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS) Jakarta belum usai, publik kembali diguncang terungkapnya kasus di Sukabumi. Lagi-lagi anak di bawah umur (berkisar 6-11) tahun menjadi korban pelecehan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh AS alias emon. Hingga saat ini sudah 110 orangtua korban, melaporkan ke Polres Sukabumi untuk meminta pertanggungjawaban emon si predator anak itu (Kompas 7/5). Jumlah itu diperkiran dapat terus bertambah mengingat, aksi si pelaku sudah dilakukan sejak 2006 silam.
Modus (cara melakukan) aksinya juga terbilang tidak mencurigakan, karena pelaku ada disekitar korban. Hal ini berarti bahwa pelaku bukanlah orang asing (orang baru dikenal) korban, namun bisa jadi sebagai teman bermain, teman bercanda, bertukar cerita. Anak (calon korban) sengaja dibuai oleh pelaku dengan iming-iming uang jajan, permen, ditemani bermain. Namun niat jahat di predator tetaplah ada, bila ada waktu yang tepat, pelaku menjalankan aksinya, untuk memuaskan nafsu birahinya (kelainan seksnya) pada korban.
Setidaknya ada 3 catatan tentang pelaku predator anak ini, pertama, pelaku biasanya orang yang sudah mengenal korban. Pelaku bukanlah orang asing dimata korban. Pelaku biasanya sudah mengetahui kebiasaan anak (calon korbannya). Dimana korban setelah pulang sekolah, waktu bermainnya kapan, dimana korban suka bermain, siapa teman bermainnya. Bahkan dari pengakuan beberapa orangtua korban di Sukabumi, mereka tahu jika anak-anak mereka suka bermain bersama emon (pelaku). Oleh sebab itu, pelaku bukan datang dengan tiba, bak orang jahat dadakan, namun sudah lama berada di sekitar anak.
Kedua, pelaku suka berbuat baik, berkorban demi mewujudkan kehendaknya. Pengakuan para korban emon sangat mengejutkan bahwa, si pelaku selam ini suka memberi uang kepada anak-anak. Pelaku suka berkorban dan memberi uang dengan “cuma-cuma” berkisar antara 25 ribu sampai dengan 50 ribu rupiah. Ketika menerima uang, tentunya dapat diartikan “cuma-cuma”, namun tidak demikian yang dibenak pelaku, ibarat sebuah usaha, memberikan uang tersebut bagaikan menanamkan investasinya agar kelak pada waktu tertentu, pelaku meminta korban melakukan sesuatu, harus dituruti.
Ketiga, pelaku bukanlah orang yang normal/ memiliki kelainan (gangguan) jiwa. Dari pengakuan emon (si predator anak itu), setiap kali selesai melakukan perbuatan bejatnya, emon menuliskan nama dari korbannya. Sehingga total saat ini jumlah nama korban dari catatan emon, sudah ada 50 nama korban (TV One/ ILC/ 6/5). Dari pengakuan ini, jelas si pelaku memiliki gangguang yang berbeda dari manusia pada umumnya. Ada kepuasaan tersendiri sesaat setelah pelaku melakukan aksinya (sodomi) hingga mencatat dalam catatan hariannya nama-nama korban.
Semua Pihak Perlu Koreksi Diri
Setiap anak merupakan tumpuan harapan masa depan setiap orangtua, bangsa dan negara. Harapan masa depan, ada pada anak. Ketika anak sudah terganggu oleh pahitnya pengalaman masa lalunya, dapat dipastikan di masa mendatang anak tidak akan optimal menggunakan potensi positif yang ada dalam dirinya. Jika menilik kasus predator anak yang terjadi akhir-akhir ini, maka siapa yang seharusya dipersalahkan. Lagi-lagi hukum hanyalah sebagai ultimum remedium (obat terakhir), dan cenderung hanya dapat digunakan setelah semuanya sudah terjadi.
Memang perlu hukuman yang berat bagi para pelaku, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berlaku di Indonesia, ancaman hukuman bagi pelaku maksimal 15 Tahun penjara. Bahkan penulis setuju, seperti yang diterapkan dibeberapa negara seperti Inggris dan Korea Selatan, terhadap pelaku yang terbukti melakukan phedophil (kejahatan seksual terhadap anak), diancam dengan pidana maksimal pelaku dikebiri kimiawi. Hal ini menyampaikan pesan, bahwa predator anak, tidak boleh dibiarkan karena dampaknya sangat mengganggu masa depan suatu bangsa.
Namun penulis hendak mengajak untuk berkontempelasi (melakukan pemerenungan) sejenak, bahwa apa yang salah dengan pendidikan terhadap anak selama ini. Mari sesaat melihat setiap dimensi kehidupan, mengapa kejahatan seksual sebegitu merajalela dan mengorbankan masa depan anak-anak kita. Dalam dunia pendidikan, sering sekali orangtua sudah mempercayakan anaknya kepada guru di sekolah. Sering ada anggapan bila anak sudah di sekolah, maka tugas gurulah yang mendidik anak. Anggapan ini kiranya perlu dikoreksi, karena tugas orangtua tidak serta merta dilepaskan ketika anak sudah disekolahkan. Prestasi akademis tidak serta merta menjamin akhlak dan budipekerti anak.
Guru juga sering terlena dengan jenjang karir dan lupa terhadap panggilan utama seorang guru (pengajar). Tidak dapat dipungkiri, saat ini guru sedang berlomba-lomba mengurus tunjangan yang disediakan pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan. Hal ini dapat dipahami demi meningkatkan kapasitas dan pendapatan sang guru. Namun bukan berarti tugas utama dan mulia, mendidik moral dan akhlak anak menjadi dinomor sekiankan. Hal ini kemudian menjadi awal, keterlantaran perhatian total guru terhadap anak didiknya.
Media massa juga sangat berperan penting. Dengan kecanggihan informasi dan teknologi seperti saat ini, maka kiranya media massa perlu untuk memikirkan sajian-sajian yang berpihak kepentingan terbaik anak. Tidak dapat dipungkiri, sering media massa (cetak dan elektronik) demi pertimbangan komersial dan keuntungan ekonomi, maka setiap sajian berita maupun acaranya tidak berpihak pada kepentingan terbaik anak. Acara-acara yang kurang mendidik dan lebih tepat disajikan pada orang dewasa, sering kita saksikan pada jam-jam anak sedang menonton.