Mohon tunggu...
Beni Harefa
Beni Harefa Mohon Tunggu... Dosen -

Vox audita perit, littera scripta manet (suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemidanaan PNS Terlibat Kampanye

16 Mei 2014   15:16 Diperbarui: 16 Juli 2015   09:07 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400216014776591193

Sesaat setelah Pilcaleg (pemilihan umum calon anggota legislatif) diselenggarakan 9 April yang lalu, seorang teman bercerita kepada saya. Betapa bangganya dia telah ikut dalam pemenangan seorang calon anggota legislatif (caleg). Dan dari hasil perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), sang caleg berhak duduk sebagai wakil rayat selama lima tahun ke depan. Selanjutnya saya menanyakan, apakah tindakan itu tidak menyalahi aturan, disebabkan teman saya ini adalah seorang yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Dengan santai teman ini menjawab, “Ah itu kan aturannya, prakteknya berbeda”.

PNS Ikut Kampanye, Diancam Pidana 

Beberapa hari setelah diskusi di atas, saya lalu menyempatkan diri membuka beberapa file tentang peraturan perundang-undangan, utamanya yang terkait dengan pemilu (kemudian menginspirasi membuat tulisan sederhana ini). Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) “dilarang” terlibat dalam kegiatan kampanye partai politik. Tidak main-main, di dalam UU tertuang, setiap PNS yang terbukti melakukan kegiatan kampanye “dikenai sanksi” bahkan “diancam pidana”.

Pasal 86 ayat (2) huruf e UU Nomor 8 Tahun 2012, menegaskan bahwa : “Pelaksana kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikut sertakan Pegawai Negeri Sipil”. Adapun yang dilarang oleh UU untuk ikut terlibat kampanye (Pasal 86 ayat (3)), yakni : a.Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; e. pegawai negeri sipil; f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; g. kepala desa; dan h. perangkat desa.

Demikian juga halnya dengan UU Pilpres, UU Nomor 42 Tahun 2008, pada pasal 41 ayat (2), mengatur tentang larangan mengikut sertakan PNS dalam kampanye. Dalam ayat (5) ditegaskan bahwa PNS dilarang mengerahkan PNS lainnya di lingkungan kerjanya untuk memilih salah satu capres/cawapres tertentu. Melakukan perbuatan dimaksud dikenai sanksi bahkan diancam pidana.

Aturan perundang-undangan dengan tegas mengatur demikian, mengapa ? Dapat dipahami sebagai pesta demokrasi, PNS dan elemen lainnya seperti disebut di atas, diharapkan berada pada posisi yang netral. Dalam perhelatan pesta demokrasi, PNS diminta untuk tidak berat sebelah, atau bahkan berpihak pada salah satu partai tertentu. PNS bukan berarti tidak bisa memberikan hak suara, namun tidak dibenarkan untuk terlibat langsung dalam kampanye partai politik.

Melihat rangkaian penjelasan di atas, maka teman seperti cerita di awal tulisan ini, dapat saja dikenai sanksi sebagaimana yang dimuat di UU Pileg dan UU Pilpres. Perbuatan yang dilakukannya, memenuhi unsur sebagai tindak pidana pemilu. Lalu, mengapa tidak terjerat? Uniknya lagi, aturan perundang-undangannya dia kuasai secara jelas dan paham pasal-pasal yang melarang PNS terlibat dalam kampanye (politik praktis). Mengapa terjadi pengabaian akan UU ini ?

Jelang pilpres 9 Juli mendatang, kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu untuk dijawab, seberapa efektifkah pencantuman ancaman pidana dalam UU Pemilu. Sehingga ke depan setiap kita mendapatkan pendidikan politik yang benar.

Ancaman Pidana, Bukan Solusi

Pencantuman ancaman pidana di dalam suatu aturan perundang-undangan, dapat memberikan efek psikologiterhadap setiap orang, agar takut melakukan perbuatan yang dilarang oleh UU tersebut. Demikian Von Feurbachseorang sarjana Jerman, telah jauh-jauh hari merumuskan hal ini. Feurbach menamakan teorinya “von psychologischen zwang” (Moeljatno, 2002). Jika dikaitkan dengan persoalan ancaman pidana terhadap PNS terlibat kampanye di atas, maka tentunya pembuat UU berharap pencantuman “ancaman pidana” dapat memberikan efek psikologi, agar PNS takut melakukan perbuatan (terlibat kampanye).

Seberapa efektifkah hal itu ? Setidaknya dalam mengukur efektivitas sesuatu, maka perlu penelitian empiris serta data kuantitatif. Mengingat ini hanya sebuah opini pribadi, maka setidaknya ada beberapa indikator yang dapat digunakan. Pertama, kasus PNS terlibat kampanye, selalu dijumpai dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Di Balikpapan, PNS dilaporkan kepada panwas karena ikut menggerakkan kampanye salah satu partai politik (Tempo,6/4). Di Jakarta, Mabes Polri, menyelidiki 15 kasus PNS terlibat Kampanye (Kompas,8/4). Hal ini menegaskan bahwa kendati ancaman pidana telah dicantumkan di dalam UU baik UU Pileg dan UU Pilpres, perbuatan semacam itu acap kali dijumpai.

Sebagai indikator efektifnya pencantuman pidana dalam UU Pileg dan Pilpres, yang kedua, yakni banyak PNS yang sudah tahu dan paham, akan UU ini. Bahkan tahu dan paham akan ancaman pidana yang ada di dalamnya. Namun tetap saja melakukan perbuatan dimaksud. Dari kedua indikator itu, kiranya tidak berlebihan jika mengatakan : pencantuman “ancaman pidana” dalam UU pemilu bagaikan macan ompong, yang hanya terlihat menakutkan, akan tetapi tidak menggigit.

Perlu Pendidikan Politik

Menelusur fenomena di atas, mengajak kita untuk berpikir sesaat, apa yang salah dengan bangsa ini. Apakah memang hukum sudah tidak berfungsi, atau kah memang manusia sudah tidak memerlukan hukum lagi, utamanya hukum pidana. Menjawab permasalahan tersebut, kiranya perlu dijawab dengan melihat konteks yang sedang diperbincangkan.

Jika melihat fenomena pencantuman pidana dalam UU sudah tidak efektif, maka diperlukan sebuah terobosan baru yakni pendidikan politik. Pendidikan politik kiranya mampu memberikan kesadaran dalam berpolitik bagi bangsa Indonesia, yang sedang proses menuju demokrasi. Sedang proses, karena melihat kesadaran berpolitik yang masih belum stabil. Keberadaan hukum pidanapun, seolah tak ada artinya dengan sikap kurang sadar tersebut.

Aturan perundang-undangan secanggih apapun, pencantuman ancaman pidana semenakutkan apapun, tanpa kesadaran berpolitik yang cerdas, tak akan ada gunanya. Kiranya ke depan, dalam perjalanan demokrasi bangsa ini, pendidikan politik semakin ditingkatkan. Sehingga tanpa ancaman pemidaan sekalipun, PNS yang terlibat kampanye, sadar dan malu, akan perbuatannya. Kapan itu terjadi? Saya, anda dan seluruh rakyat Indonesia yang akan menjawabnya.

Penulis : pembelajar hukum pidana dan restorative justice

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun