Tepat pukul 12.00 WIB, seorang anak memasuki ruang tahanan di Lapas Klas II B Gunungsitoli. Cuaca panas dan penuh sesak di dalam Lapas, menyambut bocah 14 tahun ini. dengan didampingi dua orang penyidik dari Polsek, anak tersangka kasus pencurian ini harus mendekam di dalam sel tahanan. Entah orangtua yang sudah tiada, atau karena malu, tak terlihat seorang dewasapun mendampingi si anak, kecuali polisi.
Memasuki gerbang pemeriksaan di Lapas, identitas si anak pun didata. Proses hukum layaknya penjahat dewasa seolah tak ada bedanya dialami oleh bocah ini. Selesai di data, anak dipersilahkan berbincang dengan saya (pada saat itu sebagai staf advokasi PKPA Nias). Setelah berbincang panjang lebar, si anak dituduhkan telah mencuri sepeda motor dan perbuatan tersebut telah berlangsung tidak hanya sekali. Lalu pada saat tiba pada pertanyaan, kenapa tidak didampingi oleh orangtua, si anak hanya menjawab “mereka di rumah”.
Setelah berbincang, si anak pun akhirnya diantarkan oleh petugas Lapas di rumah barunya. Di dalam ruang tahanan seluas kurang lebih 6x6 meter persegi. Ruang tahanan yang tidak terpisahkan dengan penjara orang dewasa lainnya. Lalu saya menyempatkan berbincang dengan penyidiknya, apakah tindakan menempatkan anak dalam sel tahanan memang tindakan yang tepat? Sebagai penyidik yang merasa sebagai pelaksana UU, dengan tegas salah seorang dari keduanya menjawab “semua sudah sesuai dengan prosedur.”
Aturang perundang-undangan
Sekedar mengingatkan bahwa memang di dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, membuka peluang bagi penyidik untuk melakukan penahanan terhadap anak. Kendati memang dibatasi dari segi waktu dan alasan penahanannya. Namun lagi lagi di dalam praktek, alasan menahan seseorang menjadi subjektifitas seorang penyidik (polisi). Terkadang demi kepastian hukum seorang penyidik tetap harus menahan/ menempatkan anak di dalam tahanan, kendati si anak masih sekolah atau masih mau dijaminkan oleh orangtuanya.
Saat ini UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disebut UU PA) masih berlaku dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Kendati sejak 1 Agustus 2014 mendatang, UU ini tidak berlaku lagi dan akan digantikan dengan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Apabila dianalisis secara cermat, maka dari segi waktu penahanan, jangka waktu penahanan dalam UU PA lebih lama dari UU SPPA. Dalam UU PA penahanan dilakukan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 10 hari (Pasal 44 ayat (2) (3). Sedangkan dalam UU SPPA penahanan dilakukan paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang paling lama 8 hari (Pasal 33 ayat (1) (2). Artinya paling lama anak berada dalam sel tahanan penyidik versi UU PA adalah 30 hari (1 bulan) sedangkan versi UU SPPA adalah 15 hari (2 minggu).
Baik UU PA maupun UU SPPA tetap mensyarakatkan, guna kepentingan penyidikan anak perlu ditahan. Memang dalam UU SPPA terdapat syarat yang lebih ketat untuk menahan anak, namun tetap saja, penyidik dimungkinakn melakukan penahanan terhadap anak. Kewenangan penyidik ini sangat subjektif mengingat aturan perundang-undangan tetap membuka peluang anak ditahan. Urgensi menahan anak inilah kemudian yang menjadi topik ulasan dalam tulisan ini.
Anak nakal tidak sama dengan orang jahat
Sebagian besar dari kita (orang dewasa), atau mungkin anda yang sedang membaca tulisan ini, menyamakan anak nakal sama seperti orang dewasa yang jahat, atau penjahat dewasa. Pada umumnya perilaku delinquen (kenakalan) anak, memang dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma itu, disebut pula sebagai anak cacat secara sosial (Kartini Kartono, 1986), namun tidak bisa disamakan dengan kejahatan.
Terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan kenakalan, dikatakan sebagai penjahat. Sementara kejadiannya adalah proses alami, yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya (Wagiati Soetodjo, 2010). Sehingga sebuah hal yang tidak tepat, apabila kenakalan (delinquency) yang dilakukan anak, disamakan dengan kejahatan orang dewasa. Anak bukanlah miniatur orang dewasa (DS Dewi, 2013).
Kiranya perlu mempertimbangkan, berbagai faktor penyebab mengapa anak menjadi nakal, sebelum menegaskan bahwa anak bukanlah orang jahat. Keluarga yang berantakan (broken home), diperkirakan menjadi satu penyebab delinquency yang paling sering muncul (L. Edward Well and Joseph H. Rankin, 1991). Selain itu, bahwa ketiadaan kegiatan positif yang dilakukan dan ketiadaan pengetahuan untuk mencapai kesuksesan di masa depan, menyebabkan anak kesulitan menjalani kehidupannya sehingga pada akhirnya melakukan kegiatan kriminal (Clemens Bartollas, 1985).
Selain faktor di atas, lingkungan sosial, kurangnya perhatian guru, kurangnya kepekaan media massa pada setiap tayangannya yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik anak, adalah sebagai faktor penyebab utama mengapa anak menjadi nakal. Oleh sebab itu, perlu penegasan bahwa anak bukanlah orang jahat. Anak bukanlah penjahat sungguhan, melainkan melakukan “perbuatan nakalnya” sebagai reaksi dari lingkungan sosial yang menyimpang. Anak tetaplah anak dengan segala kelucuan dan keluguan mereka.
Diversi dan Restorative Justice
Setiap anak yang melakukan perbuatan terlarang, memang tidak berarti lepas dari tanggungjawab. Hal demikian juga sama dengan merusak masa depan mereka, bahwa sesuatu yang salah haruslah dipertanggungjawabkan. “Berani berbuat berani bertanggungjawab”, demikian pernyataan yang acapkali kita dengar jika seseorang telah terlanjur melakukan kesalahan. Namun mempertanggungjawabkan perbuatan nakal anak, tidaklah tepat jika disamakan dengan mempertanggungjawabkan perbuatan jahatnya orang dewasa (penjahat dewasa).
Diversi (pengalihan) dapat dijadikan sebagai sebuah penyelesaian masalah, ketika seorang anak melakukan kenakalan. Diversi yakni pengalihan proses peradilan pidana anak di luar jalur peradilan pidana formal. Sebagai gambaran praktek peradilan anak dengan konsep diversi (pengalihan) akan dikemukakan praktik peradilan anak di negeri Belanda. Karakteristik hukum pidana anak Belanda didasarkan pada asas pedagogik. Peraturan perundang-undangan pidana anak Belanda diatur dalam Bab VII A Ketentuan Khusus untuk Anak Buku I Wetboek van Strafrecht-Sr. Ketentuan itu terdapat dalam pasal 77a s/d 77gg Sr, termasuk ketentuan diversi.
Diversi (pengalihan) dilaksanakan dalam bentuk transaksi oleh polisi dengan anak pelaku tindak pidana. Transaksi polisi dengan anak ini terwujud dalam bentuk kerjasama dengan biro HALT (Het Alternatief). Contoh kegiatan biro HALT, kasusnya menyangkut seorang anak bernama B mencuri barang di Mall. Perbuatan B diketahui petugas keamanan mall yang bersangkutan, dan ditangkap selanjutnya diserahkan kepada polisi (Paulus Hadisuprapto, 2006).
Atas dasar pemahaman polisi, perbuatan B memenuhi syarat untuk diikut sertakan program HALT. Transaksi yang ditawarkan oleh polisi diterima oleh B dan orangtuanya. Petugas HALT kemudian memanggil B beserta orangtuanya, pemilik mall (korban) dan polisi, dilaksanakanlah musyawarah untuk menentukan “sanksi” untuk B. Kesepakatan dihasilkan bahwa : B harus mengembalikan barang yang telah dicurinya kepada pemilik mall dan untuk menebus kesalahannya si B harus membersihkan lantai mall selama 2 bulan, yang pengerjaannya dilakukan tiap akhir minggu selama 2 jam, yang waktunya bebas ditentukan sendiri oleh B, sesuai dengan waktu luangnya.
Dari contoh yang dikemukakan di atas, tergambar praktik diversi (pengalihan) dalam peradilan pidana anak. Belanda dipilih sebagai salah satu contoh, dikarenakan Belanda sudah sejak lama mempraktekkan diversi, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana anak. Termasuk Amerika Serikat, menerapkan diversi sebagai cara penanganan perkara pidana anak, dan cukup berhasil. Di Belanda penyelesaian perkara di luar pengadilan ini disebut afdoeningbuitenprocess atau di Inggris disebut dengan transactionout of judicary (Marcus P Gunarto. 2013).
Konsep diversi ini relevan dengan semangat keadilan restoratif (restorative justice). Restorarative justice bermaksud menggeser paradigma pemikiran yang berkembang selama ini dalam sistem peradilan pidana anak. Bahwa selama ini, pemidanaan didasarkan pada pemahaman yang bersifat pembalasan (retributif). Oleh sebab itu, penanganan anak nakal, difokuskan pada pelaku saja. Pemidanaan dengan mengejar pelaku sangat merugikan hak anak (Nandang Sambas, 2010). Pemidanaan ini juga dirasakan hanya akan merusak hubungan anak nakal dengan korban dan masyarakat.
Pendekatan dengan keadilan restoratif menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Menggeser paradigma bahwa konflik hanya antara pelaku dan negara (Eva Achjani Zulfa, 2011). Restorative justice menegaskan konflik tidak hanya antara negara (korban utama) dengan pelaku (anak nakal), akan tetapi melibatkan korban langsung dan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam penyelesaian konflik (perkara pidana) dengan pendekatan restorative justice, diselesaikan dengan musyawarah sebagaimana bentuk diversi yang dikemukakan sebelumnya.
Keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan (Marlina, 2013). Hal ini relevan dengan konsep diversi (pengalihan) yang berusaha mengalihkan proses penyelesaian perkara pidana anak nakal ke luar peradilan formal, sebagai upaya pemulihan bagi anak nakal terhadap korban dan masyarakat dan bukan pembalasan. Oleh sebab itu, konsep diversi sangat relevan menggunakan pendekatan restorative justice, guna memberikan perlindungan terhadap hak asasi anak.
Oleh sebab itu, menjawab urgensi menempatkan/ menahananak di dalam Lembaga Pemasyarakatan layaknya orang dewasa, kiranya tidak perlu dilakukan. Hendaknya kita berpikir lebih bijak, dengan menyamakan paradigma bahwa kenakalan anak sama sekali bukan kejahatan. Kenakalan anak hanyalah sebagai hasil dari proses penyimpangan sosial yang dialaminya.
Maka sebelum kita mengatakan dengan enteng: “tahan (pidanakan) saja anak-anak itu”, perlu kiranya kita menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. Sudahkah pendidikan yang terbaik kita berikan pada anak. Sebagai orangtua, guru, pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan seluruh lapisan masyarakat lainnya, sudahkah kita memberikan perhatian yang optimal? Atau sebagai masyarakat biasa, sudahkah kita memberikan contoh/ teladan yang baik untuk ditiru oleh anak-anak kita? Pertanyaan ini perlu menjadi koreksi, sebelum kita menjawab, bahwa anak perlu untuk ditempatkan dalam sel tahanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H