Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, muncul tantangan besar dalam menjaga harmoni sosial. Salah satu tantangan tersebut adalah maraknya ujaran kebencian (hate speech), fenomena yang semakin sering terjadi di dunia maya. Ujaran kebencian bukan sekadar ungkapan opini, tetapi dapat merendahkan, menyakiti, bahkan melanggar hak individu. Kasus yang menarik perhatian publik adalah ujaran kebencian terhadap Laura Meizani, anak dari figur publik Nikita Mirzani. Kasus ini menjadi contoh bagaimana ujaran kebencian dapat memberikan dampak buruk baik pada individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Bentuk Analisis Ujaran Kebencian
Kajian linguistik forensik terhadap kasus ini mengungkap bentuk bahasa yang digunakan untuk menyebarkan kebencian. Komentar seperti "manusia sampah," "murahan," hingga "anak ga tau diri" mencerminkan upaya untuk merendahkan martabat Laura. Tidak hanya itu, penggunaan emoji seperti menambah dimensi sarkasme dan penghinaan yang lebih kuat. Dalam lingkup linguistik, ujaran ini masuk dalam kategori:
1. Tindak Tutur Asertif: Menyampaikan opini dengan maksud menyudutkan atau merendahkan.
2. Tindak Tutur Ekspresif: Mengungkapkan emosi negatif seperti kebencian atau penghinaan.
3. Tindak Tutur Direktif: Memberikan saran atau perintah dengan nada sindiran.
Bentuk bentuk ini tidak hanya menggambarkan cara pengguna media sosial mengekspresikan pendapat, tetapi juga menunjukkan adanya sikap merendahkan yang merugikan korban.
Penyebab Munculnya Ujaran Kebencian
Berbagai faktor turut memengaruhi munculnya ujaran kebencian terhadap Laura Meizani:
1. Anonimitas di Media Sosial: Kemudahan untuk berkomentar tanpa identitas yang jelas memicu perilaku kasar dan tidak bertanggung jawab.
2. Reputasi Keluarga: Laura sering dikaitkan dengan kontroversi yang melibatkan ibunya, sehingga menimbulkan stigma negatif.