Jikalau bersikap netral dan berpandangan humanistik, kita tidak boleh serta-merta menuduh manusia sebagai agen dari terdegradasinya nilai-nilai luhur dan asli dari kehidupan. Banyak memang fenomena-fenomena ganjil dan destruktif yang kita alami pada era modern ini. Apa yang digaungkan modernitas--kemajuan teknologi dan rasionalitas sebagai upaya pemanusiaan manusia-- rasanya tidak mutlak benar. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan:kerusakan alam, degradasi moral, keriskanan nyawa, dan lain-lain. Semuanya sungguh menampakkan keluhuran pikiran manusia, tetapi sekaligus kemajuan itu mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan (nilai moral). Berdasarkan kenyataan itu, banyak pihak, terlebih yang skeptis terhadap rasionalitas, menuduh manusia sebagai "biang kerok" dan penyebab utama dari semua dampak negatif tersebut.
Manusia  modern hidup di era praktis dan pragmatis. Perhatian terhadap hakikat kehidupan kurang diberi. Kita tahu, berbicara tentang hakikat mengandaikan adanya kegiatan mengabstraksi dan berefleksi: melihat dan merenungkan kehidupan secara mendalam dan menyeluruh sehingga mampu melihat makna dan nilai-nilai sejati. Dan kegiatan berefleksi tersebut ada pada ranah filsafat dan filosofis.Â
Orang kalau mau berfilsafat, maka harus menanggalkan mentalitas praktis. Orang praktis pasti tidak akan menyukai kegiatan berabstraksi karena tidak relevan pada era ini. Bukan terlebih karena apatis terhadap filsafat, tetapi karena memang lingkungan, tuntutan zaman, dan era pemikiranlah yang terlebih menuntut orang  menjadi faktor penyebab.Â
Orang zaman ssekarang sudah didesak untuk bersikap, berlaku dan menciptakan apa-apa saja yang praktis: yang berguna pada kehidupan. Ini ada kaitannya dengan tuntutan manusia untuk memenuhi kehidupan dan mempertahankan eksistensinya di dunia ini. Maka langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak disadari, orang modern akan meninggalkan nilai-nilai filosofis manusiawi baik yang berpijak pada rasionalitas maupun yang dianut dalam adat-istiadat.
Maka, untuk apa lagi filsafat baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai suatu studi? Sebagai studi formal yang diberikan kepada pelajar barangkali kurang relevan. Namun muatan filsafat itu bisa dibumikan. Para filsuf kiranya berupaya manjadikan ilmunya manjadi sesuatu yang aplikatif, bukan terutama berteori. Para filsuf harus menjadi alarm:mengigatkan publik akan nilai mana yang boleh direlatifkan dan nilai mana yang harus tetap mutlak dipertahankan. Apa saja yang mutlak? Banyak. Misalnya, keadilan, kejujuran, nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini bersifat substansial dan asali. Di sinilah orientasi profesionalitas para filsuf.Â
Para filsuf harus menjadi pengamat, penilai, pengkritis, penggugat, dan konsultan kebenaran, supaya tetap terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Agama pun kiranya turut dalam hal ini, sebab agama itu sendiri punya landasan filosofis yang menetapkan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan. Filsafat sekarang bukan terutma soal studi. Ya itu perlu bagi para calon filsuf dan agamawan, tetapi pengeruhnya harus dikontekstualisasikan dan dibumikan dengan hadir sebagai antitesis dari modernitas. Niscaya, terciptalah sintese dan keseimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H