[caption id="" align="aligncenter" width="349" caption="Source: alakullihal.blogspot.com"][/caption] Agama mengajarkan kita untuk mencari rezeki yang halal lagi baik. Syarat halal itu telah familiar diketahui. Hanya saja, banyak sentra-sentra produksi yang teramati hari ini, berpotensi membawa individu ke dalam jebakan-jebakan kepemilikan penghasilan yang haram. Salah satu contohnya adalah pekerjaan dalam dunia konstruksi, terutama tender-tender yang dibuka oleh pemerintah. Ketidaksinkronan antara pelaporan dan kualitas pekerjaan, membuat dunia konstruksi menjadi satu item pekerjaan yang dapat menjerumuskan penggiatnya ke dalam lembah kemerosotan moral dan disebut berdosa oleh para ustad. Dunia para kontraktor memang dunia yang menggiurkan. Sekali pekerjaan bisa meraup untung berlipat-lipat, bahkan cukup banyak untuk membeli sekedar satu sepeda motor hingga mobil mewah. Beberapa waktu lalu, saya juga sempat mengamati daftar harga paket yang terpublish ke situs lelang daerah. "Wow", kata saya seketika. Hanya dengan melihat daftar harga paketnya, sudah membuat fikiran orang seperti saya menerawang jauh. "Mau beli apa dengan satu miliar?" Tentu yang akan menjadi keuntungan tak sebanyak itu. Tapi saya pernah mendengar dari beberapa kawan, bahwa untuk satu item pekerjaan bernilai tujuh ratus juta misalnya, keuntungan yang didapatkan bisa mencapai dua ratus juta. Saya lagi-lagi menerawang. Mau beli apa dengan dua ratus juta? Tampaknya cukup untuk membeli ratusan jilid buku. Saya tiba-tiba berniat untuk ikut-serta. Tapi nyatanya tak semudah yang dibayangkan. Nilainya yang menggiurkan membuat sekian ratus perusahaan lahir setiap tahun, berharap dalam remah-remah yang sama dengan harapan yang berada di dalam kepala setiap orang seperti saya dalam cara yang tak berbeda. Bagaimana menjadi kaya raya dengan mudah dan sekejap mata. Sayang sekali saya terlanjur usai membaca dan mendengar ceramah-ceramah para ustad, sehingga membuat fikiran menjadi kontraktor itu membawa galau dan dilema tersendiri yang kesekian kali. Bagi saya pribadi, keuntungan berlipat yang dapat diperoleh oleh para kontraktor bukanlah masalah, ketika cost kelebihan itu memang berhak disebut sebagai keuntungan. Dalam prinsip perkoperasian, dikenal istilah sisa hasil usaha. Keuntungan yang diperoleh setelah pekerjaan usai dilakukan. Dalam logika ekonomi, jelas setiap orang yang normal, berharap agar sisa hasil usaha itu semakin besar. Konsep ini tidak dapat dimasukkan ke dalam hitungan riba, karena riba bersangkutpaut dengan memberatkan pihak tertentu. Sementara, dalam dunia konstruksi, nilai HPS pada setiap paket telah ditentukan sejak awal, dan hitungan para kontraktor tidak keluar dari besaran itu dan biasanya lebih rendah dari daftar harga tersebut. Permasalahannya hanya terletak pada ketidaksinkronan pelaporan dan kualitas pekerjaan. Saya melakukan pekerjaan tertentu, dan saya membuat pelaporan yang berbeda dari kenyataan di lapangan. Semasa masih berada dalam dunia kampus, ada istilah yang akrab digunakan oleh kalangan penggiat organisasi mahasiswa yang biasa membuat proposal kegiatan. Namanya kerennya 'mark-up'. Keuntungan berlebih dalam dunia konstruksi, juga diperoleh dari selisih antara pelaporan harga barang dan barang yang digunakan. Sewaktu SMA, hal seperti itu juga punya istilah, terutama bagi mereka yang biasa belanja di kantin sekolah. "Makan tiga, mengaku dua, bayar satu." Dalam dunia konstruksi, lagi-lagi hal seperti ini punya ruang aktualisasi. "Pakai campuran lima-satu (lima gerobak pasir dengan satu sak semen), mengaku campuran empat-satu, laporkan campuran dua-satu." Walhasil, dunia konstruksi ikut merapalkan bentuk-bentuk lampau dari dosa-dosa kita dalam ruang berbeda tapi pola yang sama. Permasalahan ini sebenarnya bisa selesai bila kontraktor memiliki kualitas keyakinan seperti para ustad, sehingga setiap item pekerjaan yang mereka lakukan, benar-benar jujur dalam proses lapangan dan pelaporan. Tapi ini nampaknya menjadi sulit, karena tuntutan hidup itu terus bertumbuh dari waktu ke waktu, dan semangat mengumpulkan harta adalah hasrat individual yang sukar dibendung tanpa kesadaran dari dalam diri. Dunia para kontraktor adalah dunia yang mengharu-biru dengan praktek suap, upeti dan mark-up. Tetapi para pengusaha turut lahir dalam ranah ini, membiak dan menumbuhkan semangat bekerja yang besar. Mereka telah menjadi penyumbang besaran pajak yang tak sedikit. Kebutuhan hidup telah menjadikan tidak saja para ahli keteknikan ikut memasuki ranah basah ini, tetapi juga masyarakat biasa, akuntan, pakar hukum, lulusan ilmu sosial, hingga para penganggur yang tak terwadahi dalam bursa kerja yang memang minim. Tentu saja meletakkan pekerjaan kepada mereka yang tidak benar-benar faham dengan pekerjaan mereka, jelas memiliki potensi kerusakan yang juga tak kecil. Tetapi hidup memang harus dipandang dalam cara yang lebih bijak, bahwa tidak setiap dari kita dapat beroleh penghasilan dari apa-apa yang benar-benar kita minati. Adakalanya dunia kontraktor adalah upaya orang-orang kecil untuk tetap bertahan di tengah riak kehidupan yang gesit. Mereka orang-orang tangguh yang berupaya menguasai bidang yang awalnya tak mereka fahami. Di kampung saya, profesi ini turut diisi oleh preman pasar dan pedagang ikan. Mereka menyewa atau membuat perusahaan, kadangkala hanya bermodalkan dua sekop dan satu gerobak, dan mereka menyetor pajak kepada negara dengan harapan-harapan menggunung untuk ikut-serta dalam arena kelas menengah dan kelas atas. Sebagian dari mereka benar-benar berhasil, tetapi tidak sedikit yang harus kembali ke profesi awalnya. Dunia kontraktor adalah dunia para petarung. Sebuah wahana perjudian yang kadangkala diperjuangkan lewat tipu-tipu dan muslihat panjang. Makanya arena ini lebih banyak diisi oleh tim-tim pemenangan setelah pertaruhan politik, atau orang-orang yang dekat dengan arus kekuasaan. Untuk orang-orang seperti saya, yang hanya bermodalkan sekop dan gerobak, berada di barisan penawar yang berharap keberuntungan dengan kebijakan negara, regulasi-regulasi yang dipermudah, atau pula isu-isu nasional tentang transparansi. Sisanya, kami hanya perlu mempelajari dengan seksama bentuk-bentuk mark-up dan tipu-tipu, untuk membuat keuntungan kami bisa menjadi lebih besar. Berdosakah? Ditilik dari sudut pandang ikhtiar untuk mencari pekerjaan lain, nampaknya dunia kontraktor memang bukan ranah yang baik bagi para ustad. Namun, adakalanya pula dosa para kontraktor tidak murni berasal dari mereka. Pemberi pekerjaan kadangkala ikut berkontribusi terhadap aksi perampokan para kontraktor. Upeti dan uang terima kasih adalah perkara lumrah yang dipandang lazim dan biasa-biasa saja bagi para pekerja proyek. Keuntungan kecil yang didapatkan dari satu proyek, bisa membuat seorang kontraktor jadi kelabakan dan mengurut dada untuk memenuhi tuntutan utang material dan pembayaran fee kemana-mana. Dalam kasus seperti itu, maka pemerintah - sebut saja segelintir orang agar tak banyak yang tersinggung - telah menjadi pihak yang membuat hamba Tuhan mencari rezeki dari cara-cara yang tak halal. Ironi ini dapat diperpanjang dalam proses-proses lobi proyek di tingkat elit, hingga menyentuh tidak saja kalangan eksekutif, tetapi merentang di jajaran legislatif dan penegak hukum. Semua mencari jalan lapang dalam mengejar paket dan keuntungan dari orang yang mengejar paket, dan jalan itu terbuka lebar ketika celah-celah sistem dibiarkan tetap lapang untuk dimasuki. Para kontraktor, khususnya yang tak berada di jajaran elit - mereka yang berupaya berburu sesuap paket demi mencapai prestise kelas menengah - akan menelusuri celah itu dengan ragam trik dan siasat. Tetapi mereka tetap tak pernah sepenuhnya dapat disalahkan. Pertama, salah satu alasan kenapa kontraktor berbohong, karena mereka hendak mempertahankan pekerjaan mereka. Pembayaran fee, adalah tahap awal ketika kebohongan itu bermula. Dalam tahap ini, pembayaran fee membuat kontraktor harus mencari selisih dari item lain bidang pekerjaan yang diterimanya, agar tetap bisa makan esok hari. Telah menjadi rahasia umum, bahwa setiap satu dari tiap pemberi proyek atau yang mengurusi kemenangan perusahaan tertentu, harus mendapat upeti dengan besaran tertentu dari penerima pekerjaan. Mereka yang tak membayar fee tertentu, berpeluang tidak lagi menerima proyek dalam tahun-tahun selanjutnya. Kedua, pihak pengawas juga memainkan andil yang tak kecil dari makanan haram para kontraktor. Kerja mereka yang sekenanya saja, membuat sekian banyak kontraktor yang mengerjakan proyek tertentu, tidak segan-segan merapalkan jurus-jurus semasa SMA atau bangku perkuliahan mereka. Pengawas harus bersikap tegas saat melihat kejanggalan-kejanggalan pekerjaan para kontraktor. Membuat mereka jera dengan aktifitas buruk demi meraup untung lebih besar meski dengan cara-cara yang buruk. Para pengawas laiknya memainkan peran sebagai polisi-polisi syariah yang menjadi perpanjangan tangan Malaikat Mungkar dan Nakir di atas dunia. Menakutkan memang. Tapi dalam ruang sosial, ketika penjaga gerbang itu tak benar-benar mengemban tugasnya dengan hati-hati, perampokan demi perampokan harta masyarakat jadi sulit diatasi, yang pada akhirnya akan tetap membawa kerugian bagi masyarakat sendiri. Ketiga, pemegang setir pemerintahan juga turut andil membuat kontraktor melakukan dosa. Seharusnya pimpinan jajaran dinas dapat menjadi ujung tombak dari berjalannya semua proses struktural itu tetap dalam koridornya. Memang kerja-kerja pengawasan anggaran tidak dapat sepenuhnya diletakkan di tangan pimpinan tertinggi pemerintahan. Tetapi pelajaran demi pelajaran telah terlihat di depan mata. Sejak lama sikap nepotis para pemimpin misalnya, telah membawa kebijakan mereka berada di persimpangan yang membahayakan. Mereka membuat sistem pemerintahan sukar berjalan dengan aturan yang fair bagi semua. Kolega dan kerabat membuat seorang pemimpin meletakkan standar ganda dalam kebijakan dan pemberlakuan aturan-aturan itu. Dalam banyak kasus, sikap nepotis ini justru membawa kesulitan tersendiri bagi seorang pimpinan. Tak jarang para penawar proyek yang berada dalam jajaran kerabat atau teman dekat pimpinan, membuat unit-unit pengadaan proyek memberanikan diri melanggar aturan main mereka sendiri. Di daerah, pengaruh kerabat dalam menentukan mekanisme dan siapa yang berhak menerima proyek bukan lagi rahasia. Mirisnya, arah kebijakan untuk membatasi pengaruh kerabat dalam intervensi aturan main itu, mengalami jalan buntu karena ketakutan para pengelola lelang proyek dalam menerapkan secara benar kerja-kerja mereka. Selain itu, minimnya koordinasi antar dinas atau instansi, juga membuka celah yang lebar bagi proses negosiasi proyek yang lumayan ganas, terjadinya ketidaksinkronan program dengan tujuan yang hendak dicapai, hingga perjalanan proyek yang mengalami keterlambatan atau pemberhentian karena pelanggaran hukum yang lupa dikaji seperti proyek yang dibuat di hutan lindung, dana proyek yang tak mencukupi karena kesalahan perencanaan, dan kasus-kasus korupsi lainnya. Bagi seorang kontraktor, masalah-masalah yang terjadi di lapangan tidak akan menghentikan mereka mencari celah-celah yang bisa dilanggar demi untung lebih besar. Saat perbandingan dan persentase keuntungan dengan pekerjaan sudah dikalkulasi dengan matang, urusan apakah proyek tertentu punya manfaat atau tidak, dapat bertahan lama atau tidak, akan menjadi poin keseratus. Perhatian yang sigap dari pimpinan jajaran dinas terhadap hal-hal seperti itu, setidaknya dapat meminimalisir terjadinya masalah-masalah lapangan yang dapat lahir dari tiap perjalanan proyek. Walhasil, negara telah memberikan keleluasaan yang besar bagi warga negara untuk ikut-serta menggiatkan sentra-sentra ekonomi di sekeliling kita. Sektor-sektor itu merentang dalam ragam potensi. Bagi mereka yang menemukan dunia konstruksi sebagai pilihan perolehan penghasilan hidupnya, seperti yang tengah saya fikirkan kini, setidaknya telah mempersiapkan diri bagi ancaman penghasilan yang potensial tidak halal. Bagi mereka yang berposisi sebagai pemberi proyek, juga selayaknya berhati-hati dengan segudang tips jitu para kontraktor untuk memberi hadiah dan ucapan terima kasih lainnya dalam upaya mereka mempertahankan pekerjaan. Dan, bagi mereka yang berprofesi sebagai pengawas, ingatlah untuk selalu memajang tampang sangar kalian di depan kami, karena saat kalian lengah, kami siap merapal seribu pengalaman semasa sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H