Hidup Terus Berjalan dan Berlalu
Pada saat bangun dari tidur yang nyenyak, pernahkan kita menghitung semua yang telah dilakukan setiap hari? Adakah manfaat yang dirasakan untuk bekal masa depan kita, tentu bukan hanya untuk hari ini melainkan untuk masa depan yang lebih lama bahkan abadi. Berapa tahun Tuhan memberi kehidupan dengan semua kenikmatan yang dirasakan secara gratis dibandingkan dengan sakit yang pernah kita alami. Pada saat kita sakit terkadang melupakan kenikmatan yang lebih lama yang telah berlalu, karena kesadaran untuk bersyukur dan berterima kasih kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang lenyap begitu saja. Selama sakit merintih dan mungkin meronta dengan hati yang penuh kebencian kepada yang memberi kehidupan, menggugat dengan  aral dan mendumel seolah Tuhan hanya kepada kita memberi penderitaan.
Saat itulah mengiba, memamerkan kesakitan kita dengan keluh kesah, meskipun semua itu bukan kehendak-Nya, semuanya berpulang kepada perilaku kita sendiri, yang lupa kepada pemberian Tuhan ketika keadaan sehat, uang yang mencukupi, kenikmatan dalam tertawa, dan segudang tingkah polah yang mematikan hati nurani. Tumpul dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, menyepelekan zikir dan fikir, mengesampingkan wirid dengan iradah insani penuh egoisme, membanggakan ketercapaian seolah mendudukan 'Arasy-Nya, dan menerpurukkan diri kita sendiri dengan kebodohan tirakat dan mengusir hakikat diri kita sendiri yang "tidak mengetahui apapun" karena tertutup oleh kesombongan dan ketakaburan iblisiah.
Sesungguhnya, setiap yang kita lalui dalam kehidupan adalah ketidaktahuan, ketidakmengertian, ketidakfahaman, dan keterbatasan tentang hari esok, apakah hari esok kita masih diberi kehidupan, apakah masih ada kesempatan, apakah esok sesuai dengan yang direncanakan, apakah esok milik kita, apakah esok masih berkumpul dan bersendagurau dengan semua teman dan sahabat, apakah esok masih menyapa "hai" kepada semua orang yang kita kenal. Masihkah kita mampu memperbaiki diri? Inilah yang sering dilupakan, bahwa jawabannya "kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi" dan itu pula manusia merencanakan, membuat ancang-ancang, menyusun proposal kehidupan dengan dukungan keyakinan bahwa Tuhan masih memberi kehidupan dan kesempatan. Optimisme adalah bagian terpenting dalam hidup, tetapi kita harus selalu ingat bahwa sebenarnya itu belum terjadi dan bukan menjadi urusan kita sebagai makhluk Tuhan.
Renungkanlah kawan, bahwa hak kita sebagai manusia menjalani kehidupan ini sebagaimana semestinya yang kita harapkan, akan tetapi hak itu tidak dapat menggugurkan kewajiban sebagai makhluk Tuhan, kalau bukan untuk menghambakan diri kepada-Nya sebagai tempat kembali yang seutuhnya, kepada siapa kita menghambakan diri? Karena selain Dia, tidak akan memberi manfaat dan madharat, dan bukan tempat untuk kembali. Semakin menumpuk dosa tanpa pertaubatan kepada Tuhan, akan mengotori jiwa dan hati yang paling dalam yang merupakan mutiara paling mujizati dalam memilih dan memilah kebaikan atau keburukan. Sehingga semua perilaku bagai dalam kegelapan malam dan ketersesatan abadi. Tahun ini, yang terbaik adalah kembali kepada jalan yang lurus sesuai kehendak Tuhan. Wallahu 'alam bi muradih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI