Suasana Bengkulu Berdialog yang diselenggarakan RBTV (Rakyat Bengkulu TV) pada Senin (16/5) malam di Hotel Horizon nampak serius dan mengalir lancar. Ulasan, komentar, pendapat, dan ide-ide solusi atas permasalahan miras yang menjadi tema dialog malam itu bermunculan tanpa bisa dibendung. Memang tema Bengkulu Berdialog RBTV malam itu cukup hangat dan penting untuk dibicarakan, mengenai keadaan darurat miras di Bengkulu yang disinyalir kuat menjadi penyebab terjadinya berbagai tindak kejahatan di Bengkulu, khususnya pemicu tragedi pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun.
Tampak hadir dalam pertemuan tersebut, Kapolda Bengkulu, Brigjen Pol Drs. M. Gufron, MM,M.Si., Kapolres Kota Bengkulu, AKBP Ardian Indra Nuranta, Direktur Unit Sabhara Bengkulu, Kombes Pol Asep Teddy Nurrasyah, S.IK, Ketua Badan Musyawarah Adat Bengkulu, S. Effendi, M.Si., perwakilan dari MUI Provinsi dan Kota Bengkulu, beberapa Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kota Bengkulu, praktisi kesehatan, aktivis KAMMI, elemen mahasiswa, LSM, dan eks pelaku peminum tuak di Bengkulu.
Dalam proses dialog yang berjalan selama 2,5 jam tersebut terungkap bahwa memang benar diakui berdasarkan fakta dilapangan, banyak sekali beredar minuman keras di Bengkulu, juga produksi tuak yang sangat besar di beberapa wilyah di Bengkulu. Kapolda dan Polres telah berhasil menyita dan memusnahkan ribua botol miras dan ribuan liter tuak. Tak kurang dari 14.500 botol miras berbagai merek dan 1.114 liter tuak dimusnahkan belum lama ini oleh Polres Kota Bengkulu.
Terungkap pula 3 kasus dalam hasil penyeledikan yang dilakukan oleh Polres Kota Bengkulu. Tiga kasus pembunuhan di Pantai Panjang, di Stadion Semarak Sawah Lebar, dan di Kampung Melayu baru-baru ini terjadi disebabkan oleh miras dan tuak. Menurut Mbah Nyono, eks pemabuk tuak berat yang sudah tobat, mengungkapkan saat ini tuak masih sangat mudah ditemukan di berbagai tempat di Kota Bengkulu, harga tuak 1 teko (isi 2 liter) bisa didapatkan dengan uang Rp 10.000,- saja, dan rata-rata peminum tuak dalam semalam bisa menghabiskan 2 teko tuak. Jika seseorang telah mabuk tuak, tak ubahnya seperti orang yang mabuk minuman keras yang lain. Seseorang yang mabuk tuak bisa melakukan kejahatan dalam berbagai bentuk, ia bahkan dalam pengaruh tuak tidak akan merasa takut dengan siapapun, meskipun dengan aparat kepolisian. Apalagi jika melihat seorang wanita, seorang pemabuk tuak sangat mudah sekali terdorong untuk melakukan tindakan yang kelewat batas.
Selain itu terungkap pula, di Rejang Lebong telah terjadi produksi tuak dan miras besar-besaran, bahkan memang benar bahwa tuak sudah seperti minuman air putih biasa yang siapapun bisa dengan mudah meminumnya. Bahkan seorang peserta dialog yang hadir mengungkapkan tradisi buruk yang baru-baru ini mulai merebak di kalangan masyarakat di Rejang Lebong. Jika ada pesta pernikahan atau sejenisnya sering terjadi pesta minum tuak, bahkan ada sejenis pertunjukkan ibu-ibu berjoget ria yang sebelumnya harus minum tuak terlebih dahulu. Pesta malam seperti ini bisa diikuti oleh siapapun termasuk oleh anak-anak. Sungguh merupakan kondisi yang sangat miris dan memprihatinkan.
Namun, apa yang terjadi di Rajang Lebong ini tidak terlepas juga dari peran pemerintah daerah dan DPRD Rejang Lebong pada periode sebelumnya, dimana pada tahun 2011 Bupati bersama DPRD Rejang Lebong mengesahkan Perda retribusi izin peredaran miras di daerah tersebut. Dalam Perda nomor 13 tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol tersebut dicantumkan dengan sangat jelas pemberian izin tempat penjualan minuman beralkohol di Rejang Lebong yang dipungut biaya sebagai retribusi yang masuk kepada badan atau perorangan. Hal ini dimaksudkan sebagai sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Dalam Perda tersebut tertuang dengan jelas tarif retribusi mulai dari pengecer dan penjual langsung yang berkisar antara Rp 5.000.000,- sampai Rp 20.000.000,-. Pasal sanksi administrasi dan sanksi pidanapun hanya diterapkan bagi seseoarang atau badan yang melakukan penjualan tanpa izin, atau mengalami penunggakan dari pembayaran tagihan retribusi yang diterapkan. Maka dari Perda retribusi ini, produksi dan penjualan miras dan tuak di Rejang Lebong meningkat tajam. Produksi tuak menyalip produksi gula aren yang sebelumnya menjadi profesi warga.
Para pengrajin gula aren banyak beralih menjadi produsen tuak disebabkan keuntungan yang didapat dari produksi tuak bisa mencapai 40% lebih tinggi daripada memproduksi gula aren (baca ini). Berawal dari Perda dan maraknya produksi serta penjualan miras dan tuak di Rejang Lebong inilah kemudian Rejang Lebong menuai dampaknya, ibarat pepatah mengatakan, "siapa menabur angin, ia akan menuai badai". Kini Rejang Lebong terkenal dengan kejahatan seksual dan kekerasan pada anak yang berawal dari tuak.
Di sisi lain, Ketua adat Bengkulu, Bapak Efendi, menyatakan bahwa tradisi minum tuak dan minum-minuman beralkohol lainnya bukanlah budaya adat masyarakat Bengkulu. Ia menyebut bahwa adat Bengkulu sudah sejak dahulu melarang warga meminum minuman yang memabukkan, hal itu tertuang dalam Perda adat yang telah disahkan di Kota Bengkulu. Dalam pasal sanksi adat bagi peminum minuman yang memabukkan dijelaskan dengan tegas ada dendo adat yang harus diterima oleh pelaku. Berat atau ringannya sanksi dendo adat tersebut disesuaikan dengan kondisi pelaku dan pengaruhnya bagi orang lain, bisa berupa berjanji untuk tidak mengulangi kembali sampai pada pengusiran dari wilayah adat.
Selain itu, pihak Sabhara Polda Bengkulu mengungkapkan bahwa sampai saat ini belum ada payung hukum yang kuat untuk menjadikan produsen, pengedar, dan penjual miras dapat dihukum dengan hukuman yang berat dan bisa memberikan efek jera. Sebab sampai saat ini sesuai dengan UU KUHAP tentang jenis kejahatan yang berkaitan dengan minol hanya dimasukkan dalam tindak pidana ringan (Tipiring) yang hukuman pidananya maksimal hanya 3 bulan kurungan. Hal ini menyebabkan sulitnya menghentikan produksi dan peredaran miras. Meskipun telah berkali-kali pihak kepolisian melakukan razia dan menangkap pelaku, namun tidak lama berselang pelaku melakukan tindakan serupa dan produksi serta peredaran miras tetap saja berlangsung. Perlu ada payung hukum yang kuat dan hukuman pidana yang memberikan efek jera bagi pelaku produksi, pengedar dan penjual miras di Bengkulu.
Menilik pada Perda dan Pakta Integritas Pemberantasan Minuman Beralkohol di Papua, mestinya Bengkulu cukup malu jika tidak mampu menerapkan Perda dan Pakta Integritas serupa. Â Papua dalam 5 poin pakta integritasnya secara tegas dan gamblang mendeklarasikan gerakan pemberantasan minuman beralkohol di seatero Papua. Apakah Bengkulu malah akan menerapkan izin retribusi penjualan miras yang jelas-jelas memberikan efek kerusakan sosial bagi masyarakat?