Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Dewa di Negri Seribu satu Penyair

30 Agustus 2015   10:55 Diperbarui: 30 Agustus 2015   10:55 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

“Tahukah kalian bahwa dewa masih hidup di zaman ini?” ujar lelaki kurus yang dijuluki teman-temannya dengan sebutan Si Penyair Ceking.”Kisah dewa dewi itu cuma dongeng bro, mana mungkin dia nyata” sahut temannya yang dijuluki Si Penyair Lusuh, karena pakaiannya tidak pernah rapih dan terlihat asal-asalan.

“O ini bukan cerita dongeng bro, ini cerita nyata di dunia kepanyairan” sanggah Si Penyair Ceking. “Dewa Kata, maksudmu?” tanya Si Penyair Batu. “Baah Dewa Kata itu cuma imajinasi, bukan itu maksudnya”timpal Si Penyair Kayu. “Iya, ini cerita tentang sosok penting dalam dunia kepenyairan kita” jelas Si Penyair Ceking.

“O Dewa, ini pastilah tentang sosok seorang yang super hebat. Siapakah dia?”sahut Si Penyair Gondrong. “Siapa kah dia? Coba simak siapa saja kira-kira yang tampil bak dewa dalam dunia kepanyairan, dia yang ditangannya begitu besar kekuasaan membunuh dan melahirkan penyair, dia yang begitu berkuasa menghakimi karya-karya kita, dan terkadang kelakuannya seakan-akan dialah sang penyair yang lebih hebat dari penyair mana pun di muka bumi ini,  sehingga karya penyair-penyair sekelas Pablo Neruda, Rabindranath Tagore yang peraih hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan itu pun dapat dihakiminya begitu saja.” ujar Si Penyair Ceking.

“Baah keterlaluan betul itu Sang Dewa! Siapa dia, coba kita simak karya-karyanya, kita pun berhak untuk menilai balik dirinya!?” Sahut Si Penyair kayu yang puisi-puisinya banyak bercerita tentang kayu itu.

“Siapakah dia?” tanya Si Penyair Batu dan Si Penyair Gondrong dengan nada penasaran. “Banyak, sangat banyak yang berlaku sok manusia dewa di Negri  Seribu Satu Penyair ini. Mereka yang bersembunyi di balik meja redakturnya,  yang begitu leluasa menilai baik-buruk puisi-puisi yang ada di tangannya hanya berdasarkan selera hatinya sendiri. Mereka para kritikus abal-abal yang sok ilmiah, sok paling ngerti bahasa yang baik dan benar, sok paham puisi namun dibalik kelebat pisau tajamnya itu ternyata ada niat yang bertujuan membunuh kepenyairan sesorang hanya karena karya-karyanya tidak memenuhi selera si kritikus.”ujar Si Penyair Ceking.

“Baah betul juga kau lai. Coba kalian simak puisi-puisi yang dimuat di Koran Minggu yang terkenal itu. Selera redakturnya sok tinggi, tapi coba kalian simak puisi-puisi yang dikurasinya,  yang berhasil dimuat di koran itu,  karya-karya jiplakan pun dimuat. Apakah kepada hal seperti ini kita serahkan harapan kemajuan kesusastraan negri kita?” ujar Si Penyair kayu.

“Lalu kita bisa apa? Apa yang bisa kita perbuat untuk menaklukkan dewa-dewa itu?”sahut Si Gondrong. “Kita harus menjawab kesombongan dewa-dewa itu dengan menghasilkan karya-karya yang lebih baik, menerbitkannya, lalu mempublikasikannya secara luas, dan biarkanlah mereka itu mati kedinginan sendiri dalam balutan jubah dewanya!” ujar Si Penyair Batu. Kelompok kecil penyair dari Negri Seribu Satu Penyair itu sepertinya setuju dengan pendapat Si Penyair Batu.  Mereka bertekad akan terus berkarya dan berkarya, menghasilkan karya-karya terbaiknya bukan untuk Sang Dewa, tetapi untuk dunia sastra yang menghidupi Sang Dewa!!!

 

Batam, 2015.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun