Intelijen adalah mata dan telinga negara. Peranannya sangat penting dalam menjaga stabilitas nasional dan mengendus ancaman sedini mungkin. Salah satu poin penting dalam menilai kekuatan pertahanan suatu negara adalah bentuk dan pengorganisasian intelijennya. Melalui keberadaan institusi intelijen ini maka perkembangan setiap wilayah bisa diketahui dan dianalisis, diolah dan dijadikan data ketahanan wilayah.
Aktivitas intelijen nasional meliputi bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Banyak prediksi bahwa sampai dengan 25 hingga 30 tahun akan datang ada kemungkinan terjadi perang terbuka di Pasifik dan di Laut Cina Selatan, sifatnya konvensional atau pun modern. Namun perang secara tertutup (intelijen) khususnya politik, ekonomi, sosial dan budaya sudah dimulai dan terkadang diluar kesadaran kita.
Tentang situasi Papua yang tidak sepenuhnya kondusif dan cenderung memanas banyak pihak yang telah menduganya bahwa terdapat kegiatan intelijen asing yang bermain di bumi Papua. Dengan menggunakan berbagai kedok seperti LSM, issue lingkungan hidup, HAM dan sebagainya, kekuatan asing dengan leluasanya bermain mengguncang Papua agar terangkat ke panggung internasional dan menjadi perhatian dunia. Sehingga terbentuklah opini negatif. Target antaranya menciptakan keresahan, ketidakpercayaan, keragu-raguan terhadap Jakarta, dan memainkan berbagai potensi masalah lokal menjadi issue global. Dengan begitu agenda mereka membuat Papua terlepas dari NKRI melalui referendum Papua dapat diwujudkan. Dalam rangka menangkal permainan yang memiliki agenda besar yang tersembunyi itu maka dibutuhkan tindakan kontra intelijen, sedini mungkin.
Belum hapus dalam ingatan kita kasus Tolikara yang terjadi tahun ini di saat umat Islam hendak melakukan sholat Idul Fitri. Ada juga terdengar tantangan OPM mengajak TNI perang terbuka, dan yang terakhir adalah kasus lobi-lobi gelap perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Pemain utama dibalik layar “drama” Papua sudah dapat ditebak, siapa lagi kalau bukan negara-negara yang memiliki kepentingan terhadap bumi Papua yang kaya dengan sumberdaya alam.
Pada perang dunia ke-2 tahun 1941 – 1945, saat pasukan angkatan laut Amerika bergerak dari Pasifik menuju ke Jepang ada banyak catatan yang mengatakan bahwa posisi bumi Cendrawasih sangat strategis, jalur dan tempat persinggahan utama yang menghubungkan Pasifik dan Laut Cina Selatan menuju ke Asia Timur yakni, Jepang Cina dan Korea.
Bumi Papua secara geopolitik sangat penting, dan kaya dengan sumber daya alam berupa energi mineral dan lainnya. Tambang emas dan tembaga yang tergolong terbesar di dunia ada di sana, namun secara sosial dan ekonomi daerahnya masih banyak yang tertinggal kemajuan. Penetapan melalui Perpres tentang daerah teringgal tahun 2015 – 2019 baru-baru ini menyebutkan ada 7 kabupaten di Propinsi Papua Barat yang tertinggal, dan ada 25 dari 29 kabupaten/kota di Propinsi Papua yang masuk kategori tertinggal. Sungguh miris, sementara para pemimpin, politisi atau pimpinan parpol asyik bertengkar di Jakarta. Semenetara mereka saling sikut saliung jegal demi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, intelijen asing terus menggarap Papua sebagai kawasan yang panas dan rawan konflik.
Skenario yang diciptakan oleh asing dalam kasus Tolikara adalah konflik horizontal antar suku dan antar umat beragama di Papua. Ada simbol-simbol Israel ditemukan di Tolikara. Hal ini menunjukkan bahwa insiden Tolikara hanyalah issue awal semata, sebuah Test The Water. Melihat riak air (reaksi publik) melalui lemparan batu (issue). Untunglah reaksi cepat pemerintah pusat dan daerah serta para petugas keamanan berhasil mengendalikan situasi di sana menjadi kondusif. Menurut informasi dari berbagai media bahwa otak kerusuhan itu ada di Jakarta. Anehnya pengusutan terhadap otak kerusuhan itu belum terdengar kabarnya. Mungkin dia (otak kerusuhan itu) sangat licin sehingga sulit disentuh. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi BIN dan Kepolisian untuk menangkapnya.
Kasus Papa Minta Saham terkait perpanjangan kontrak Freeport bukahlah kasus biasa. Bukan cuma kasus atau ulah preman kelas teri yang suka main falak sana-sini. Kasus ini memiliki dimensi luas, ada pelanggaran hukum dan juga terendus ada pertarungan intelijen di dalamnya. Memadukan politik dan bisnis adalah trend lama dalam dunia intelijen. Jakarta adalah pusat segalanya, ibu kota negara, dan sudah pasti intelijen asing berkepentingan menanamkan kaki tangannya di pusat-pusat kekuasan yakni, di lembaga legislatif dan di lembaga eksekutif, khususnya terkait agenda tersembunyi di Papua. Mereka itu bergerak bagai hantu, dapat dilihat akibat perbuatannya namun tidak terlihat siapa pelakunya.
Dalam beberapa kasus tertangkapnya agen intelijen asing di suatu negara, ketika diungkap ternyata identitasnya dikenali khalayak sebagai pengusaha yang misterius karena wajahnya jarang muncul ke publik, dekat dengan banyak pejabat, royal menyumbang dana besar bagi suatu aktivitas politik, kontroversial, punya banyak kasus namun sulit disentuh oleh hukum, dekat dengan tokoh-tokoh politik namun tidak terikat dengan suatu partai politik. Sebaiknya Presiden Jokowi jangan lengah dan jangan bersikap lunak dengan mereka yang terlibat kasus Papa Minta Saham. Usut tuntas hingga ke akar-akarnya.
******