Pengertian dan Fungsi Lahan Gambut
Gambut adalah jenis lahan yang terbentuk dari akumulasi sisa tumbuhan yang setengah membusuk atau mengalami dekomposisi tidak sempurna, mengandung bahan organik yang tinggi, biasanya digenangi air sehingga kondisinya anaerobik. Kedalamannya bisa mencapai lebih dari 10 meter. Lazimnya di dunia bahwa disebut sebagai lahan gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30% dan ketebalannya lebih dari 50 cm. Hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan organik lebih dari 65%. Lahan gambut banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti rawa, cekungan, atau daerah pantai.
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia (Subagya, 1998; Wibowp dan Suyatno, 1998). Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35% terdapat di Pulau Sumatera. Sekitar 5,7 juta hektar atau 27,8% terdapat di Pulau Kalimantan. Lahan gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang berfungsi sebagai pelestari sumber daya air, peredam banjir, pencegah perembesan air laut, dan karena kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon berfungsi pula sebagai pengendali iklim. Di atas lahan gambut terdapat atau tumbuh berkembang secara alami keanekaragaman hayati yang secara karakteristiknya tidak sama antar daerah atau pulau.
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Manakala kondisinya sesuai dan setelah melewati periode waktu geologis gambut dapat berubah menjadi batubara. Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut, dan sekitar 7% dari lahan itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan.
Pada kondisi alami lahan gambut tidak mudah terbakar, karena sifatnya yang menyerap dan menahan air secara maksimal. Sehingga pada musim hujan dan musim kemarau, di daerah setempat, tidak terjadi perbedaan kondisi yang ekstrim. Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu akibat pemanfaatannya yang kurang perhitungan berdampak pada perubahan iklim dan berdampak pula pada perubahan pola cuaca.
Pada kondisi alami, gambut menyimpan banyak air di saat musim hujan, dan melepaskan air secara perlahan-lahan pada saat musim kemarau. Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu, kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan air menjadi tidak maksimal. Pada musim kemarau lahan gambut akan mengalami kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar.
Â
Konservasi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Di banyak area di Indonesia, ada rencana untuk mengubah sebagian besar lahan gambut menjadi perkebunan dan lahan hutan tanaman industri. Ketika lahan gambut dipergunakan untuk keperluan tersebut maka air harus dikeringkan, pepohonan alami yang tumbuh di atas lahan itu harus ditebang dan gambut harus digali karena untuk tanaman Kelapa Sawit,  gambut yang tebal akan menyebabkan pohon mudah tumbang. Proses ini menyebabkan banyak karbon dilepaskan ke atmosfer dan memperburuk dampak perubahan iklim. Lebih-lebih lagi bila pembukaan lahan baru dilakukan dengan cara membakar agar bisa cepat ditanami dan biayanya relatif lebih murah.
Gambut merupakan bahan organik yang mengalami dekomposisi tidak sempurna, ketebalan lapisan bahan organik itu minimal 50 cm bahkan dapat mencapai kedalaman lebih dari 10 meter. Ketika musim kemarau, permukaan lahan gambut itu terbakar atau sengaja dibakar maka api menjalar ke bawah permukaan tanah dan sulit dideteksi, serta menimbulkan asap tebal. Lahan gambut yang terbakar sulit dipadamkan sehingga berlangsung lama. Api yang membakar lahan gambut baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.
Ada dua kelompok pemikiran para ahli tentang cara pemanfaatan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Kelompok pertama berpendapat lahan gambut dapat dimanfaatkan dengan merubah ekosistemnya: air yang menggenang dialirkan (kanalisasi), pH tanah (3,5 – 4,0) yang memiliki keasaman tinggi diolah ditingkatkan mendekati pH 7, lalu lahan tersebut ditanami dengan Kelapa Sawit atau menjadi lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mana ini berarti harus ada proses land clearing. Proses ini dapat menyebabkan banyak karbon terlepas ke atmosfir dan mempengaruhi rumah kaca, mempengaruhi cuaca dan iklim global.
Kelompok kedua berpendapat bahwa lahan gambut harus dimanfaatkan dan dikelola sesuai dengan ekosistimnya. Tanaman menyesuaikan ekosistim gambut, bukan ekosistem gambut yang harus disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.. Pemikiran ini mengarah pada perlunya pemetaan lahan gambut secara keseluruhan di suatu wilayah atau pulau, lalu disusun sebuah rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, serta perancangan zona adaptasi. Â