Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(FITO) Penghuni Rumah Tua di Sudut Jalan

25 Agustus 2016   14:49 Diperbarui: 25 Agustus 2016   18:03 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/22/desol-57ba48fb87afbd464cdf7978.jpg?t=o&v=700

Senja belum hilang sempurna dan malam telah berangsur datang.  Suasana remang. Aku kembali lewat di depan rumah tua itu.  Letaknya di sudut ujung jalan. Tempat yang harus kulewati setiap kali pulang dan pergi bekerja.  Selama belasan tahun aku berlalu-lalang di tempat itu, dan baru kemarin sore aku menaruh perhatian khusus terhadap rumah itu.

Aku berhenti sejenak dan memandang ke arah kaca jendela yang kemarin kulihat ada wajah tua yang sangat terkenal itu. Aku jadi penasaran, apakah betul penglihatanku kemarin sore? Ya…sosok yang sangat terkenal itu wajahnya selalu kuingat. Meski hanya melihatnya sekilas,  aku betul-betul yakin  bahwa di rumah tua itu aku melihatnya.  Apakah dia tinggal di rumah itu?

Dia seorang penyair terkenal, foto wajahnya ada di mana-mana.  Siapa yang tidak kenal dengan penyair yang karya-karyanya mendunia itu.  Aku pengagum berat puisi-puisinya.  Sebagai pengagum berat, karena itu aku hapal betul dengan garis-garis wajahnya.

Naluriku sebagai wartawan bekerja cepat. Aku segera mencari akal agar memiliki alasan untuk mengetuk pintu rumah itu dan mencari tahu siapa saja penghuni di dalamnya. Aku membuka pintu pagarnya yang tak terkunci, dan kuketuk pintu panel dari jenis kayu yang langka itu.

Tidak ada yang menyahut, namun lampu di dalam rumah terlihat menyala. Akhirnya kulihat bel, dan segera kupencet bel itu. Sunyi, tidak ada yang keluar atau menyahut dari balik pintu.

Tiba-tiba terdengar bunyi suara kunci pintu itu diputar. Aku jadi deg degan, tak sabar ingin tahu siapa gerangan yang berada di baliknya. Lelaki tua itu menatapku tajam, matanya penuh selidik.  Akhirnya dia bersuara dengan suara yang penuh wibawa. Tanyanya: “Maaf, wartawan dari mana?”

Aku jadi gugup karena identitasku telah diketahuinya. “Saya memang wartawan, tapi saya ingin berjumpa sebagai pengagum berat atas puisi-puisi bapak,” jawabku, berusaha menenangkan diri.

Lelaki tua itu tersenyum, lalu mempersilakanku masuk ke dalam. “Sudah sholat?” tanyanya. Akhirnya kami sholat berjamaah di ruang tamu rumahnya yang luas dan tampak sederhana.

Malam itu aku bekerja lembur, bolak-balik mengetik hasil wawancaraku dengan penyair yang pernah menghebohkan dunia itu karena tiba-tiba raib tanpa jejak sejak namanya resmi diumumkan masuk nominasi calon peraih nobel dalam bidang sastra, dua tahun yang lalu.

Esoknya terjadilah kehebohan karena berita hasil wawancara itu.  Malamnya kami berdua duduk sambil senyum-senyum, menyaksikan kehebohan itu melebar menjadi sebuah perdebatan di beberapa stasion televisi. “Begitulah bila sastra selalu dikait-kaitkan dengan politik, heboh jadinya. Makna sastra sebagai hal yang memanusiawikan manusia menjadi kabur dan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik yang berorientasi kekuasaan!” ujarnya, mengomentari kehebohan yang terjadi.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun