Ketua Umum Partai Demokrat, Bambang Susilo Yudhoyono (SBY), dalam pidato politiknya Selasa (7/2) kembali menyinggung kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok . SBY menyatakan kasus itu merupakan isu yang sederhana. Namun, SBY menilai, pemerintah tidak bijak dalam mengelolanya sehingga berkembang menjadi isu ryang rumit dan melebar.
Menurut SBY, kasus tersebut dalam perkembangannya dipolitisasi sehingga bergeser menjadi isu kebinekaan dan SARA. Akibatnya, masyarakat di akar rumput bersitegang dan membuat situasi sosial dan politik menjadi tidak kondusif. "Saya berpendapat, kasus hukum Basuki Tjahaja Purnama bukan isu kebinekaan dan SARA dan juga bukan isu NKRI,"kata SBY. Hal tersebut disampaikan SBY dalam acara dies natalis Partai Demokrat di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa malam (7/2).
Pernyataan SBY tersebut terdengar lucu dan aneh. Mungkin SBY sudah melupakan “lebaran kuda”, ketika dia mengingatkan Polri agar jangan sampai negara “terbakar” terkait proses hukum kasus Ahok. “Kalau ingin negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum,” ujarnya saat itu, mengingatkan agar aparat penegak hukum mendengarkan protes masyarakat terkait isu penistaan agama. “Kalau sama sekali tidak didengar, diabaikan, sampai lebaran kuda masih ada unjuk rasa itu, “ lanjutnya.
Mungkin benar pendapat beberapa pengamat politik yang berkembang dalam beberapa hari terakhir, bahwa SBY cenderung menyikapi panggung politik sebagai panggung pribadi. Menilai situasi yang berkembang di masyarakat dari sudut pandang kepentingan pribadi terkait tujuan politik Partai Demokrat. Sama sekali jauh dari sikap kenegarawan yang seharusnya dimiliki oleh seorang mantan Presiden. Hampir setiap pernyataan sikap politik SBY bermakna seperti pedang bermata dua atau kadang disebut pula sebagai politik standar ganda.
SBY menyatakan kasus dugaan penistaan agama yang melilit Ahok adalah kasus yang sederhana, namun karena ditangani secara kurang bijak maka kasusnya berkembang menjadi isu kebhinekaan dan SARA. Sayang sekali dalam pidato politik itu SBY tidak ada menyinggung tentang siapa yang bermain dengan bola api SARA sehingga kasus itu berkembang menjadi ancaman bagi kebbinekaan? Andaikan SBY saat itu tampil dengan jiwa kenegarawannya, tidak ikut memanas-manasi situasi dengan caranya yang khas, mungkin istilah “lebaran kuda” itu tidak menjadi sindiran yang menyayat hati SBY yang sedang mengidap post power syndrome.
Siapa yang memelintir pidato Ahok pada 27 September 2016 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, sehingga memunculkan tudingan menistakan agama? Kalau ditelisik lebih jauh dari apa yang terungkap di ruang persidangan Ahok, mulai dari para saksi pelapor hingga munculnya isu penyadapan, ada aroma permainan politik Partai Demokrat di dalam kasus Ahok. SBY seharusnya jujur kepada publik bahwa partai yang dipimpinnya itu sedang butuh momentum untuk bangkit. Bukannya malah melempar telur busuk ke pemerintah, seolah-olah beliau menuding Jokowi melindungi Ahok dari berbagai jerat hukum. Kalau SBY berpendapat Ahok kebal hukum karena dilindungi Jokowi, kenapa SBY tidak menyebutkan contoh di kasus apa Ahok bersalah dan kasusnya dimentahkan oleh Jokowi?
Ini tudingan serius SBY terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia, termasuk KPK yang menyatakan Ahok tidak besalah dalam kasus Sumber Waras. Untuk menjawab tudingan SBY ini ada baiknya bila KPK segera menuntaskan kasus Hambalang sampai ke akar-akarnya, dan juga kasus Petral harus segera ditindak lanjuti. Hal ini penting, KPK perlu menunjukkan taringnya bahwa KPK bekerja secara mandiri, tidak ada intervensi pemerintah di dalam kasus hukum yang menjerat siapa pun, termasuk kasus yang menjerat orang-orang yang terkait langsung dengan SBY.
Pernyataan SBY terkait kasus Ahok itu lebih tepat kalau dikatakan sebagai wacana, pikiran yang mengapung di atas kepentingan politik SBY di tengah-tengah bara api Pilkada Jakarta 2017. Standar ganda, di satu sisi SBY menyatakan kasus itu adalah kasus yang sederhana dan tidak berbahaya bagi keutuhan NKRI. Namun pada sisi lain SBY ngotot ingin melanjutkan isu penyadapan terkait pembicaraannya dengan KH. Ma’ruf Amin, khususnya tudingan pesanan SBY kepada Kiyai Ma’ruf selaku Ketua MUI untuk mengeluarkan fatwa terkait penistaan agama oleh Ahok.
Sikap SBY menyerang Jokowi membuktikan bahwa kasus Ahok sebagai entri poin mendeligitimasi pemerintahan Jokowi-JK memang benar adanya. Namun masalahnya langkah-langkah untuk tujuan ke sana berhasil dipatahkan oleh dua atau tiga orang di lingkaran Jokowi yang paham betul cara-cara SBY memancing di air keruh. Maka tidaklah mengherankan bila hal itu juga menjadi bola api yang dilemparkan SBY untuk pemerintah.
Kasus Ahok memang sebuah kasus yang sederhana. Namun siapa sesungguhnya yang membuat kasus itu menjadi rumit dan berbahaya bagi kelangsungan NKRI? Siapa yang memobilisai FPI, membidani lahirnya GNPF, dan mendorong munculnya fatwa MUI sehingga itu menjadi isu SARA? Indonesia adalah satu nusa, satu bangsa, namun bukan satu agama. Ketika hak-hak politik seorang warga negara Indonesia dipaksa harus dihilangkan karena faktor suku, agama, atau ras yang melekat padanya maka hancurlah prinsip persamaan hak dan kewajiban bagi setiap anak bangsa yang dijamin oleh Konstitusi.
Visi kenegarawanan SBY perlu dipertanyakan, bila kasus Ahok itu beliau bilang sederhana dan salah kelola, apakah itu artinya SBY berpendapat sebaiknya pencalonan Ahok dibatalkan oleh partai-partai pengusungnya? Dapatkah SBY menjelaskan makna ucapannya “Pilkada rasa Pilpres”, bahwa hal itu sama-sekali tidak terkait dengan rencana memainkan isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2017?