Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Ahok, Cermin Suram Bangsa Tanpa Estetika Nasional

19 Januari 2017   22:57 Diperbarui: 19 Januari 2017   23:23 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://news.okezone.com

Setelah keluar fatwa MUI, muncul kelompok yang menamakan dirinya kelompok Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI. Kelompok tersebut menggiring opini masyarakat seolah fatwa MUI menjadi dasar bagi aparat untuk memenjarakan Ahok.  GNPF memobilisasi massa, dan terjadilah demo berjilid-jilid dan menimbulkan dampak gangguan keamanan, menimbulkan ketegangan-ketegangan social, politik, ketegangan hubungan antar agama, dan juga tekanan terhadap proses hukum yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Kenapa tiba-tiba muncul kelompok pembela fatwa MUI, dan kenapa tiba-tiba fatwa MUI harus dikawal? Front Pembela Islam(FPI) yang selama ini dikenal sebagai pihak yang berseberangan dengan Ahok ternyata menjadi tulang punggung GNPF.  Banyak pihak mempertanyakan Ormas  GNPF yang mengkampanyekan penegakkan fatwa MUI tentang kasus Ahok dan atribut Natal, tetapi tidak melakukan apa pun untuk fatwa lainnya.

Seiring waktu mulai terlihat bahwa gerakan itu sepertinya bukan murni gerakan keagamaan.  Gerakan itu lebih terlihat sebagai gerakan politik, gerakan untuk memenuhi kepentingan politik menggunakan emosi keagamaan, taktik tersembunyi untuk menarik emosi masyarakat.  Bukan hanya Jakarta yang membara, suhu politik hampir di seluruh wilayah Indonesia tiba-tiba memanas. Di tengah-tengah situasi panas itu berhembus pula isu makar, dan beberapa tokoh yang diduga memanfaatkan situasi untuk makar kini tengah ditangani oleh Mabes Polri.

Hal yang terpenting untuk diambil hikmahnya dari kasus Ahok adalah bahwa kita sebagai bangsa belum tuntas menyelesaikan masalah SARA. Dalam dinamika hidup berbangsa dan bernegara, pasti selalu ada peluang untuk terjadi gesekkan atas perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).  Pancasila adalah dasar negara yang kokoh. 

Namun  apakah pemahaman kita segenap anak bangsa terhadap butir-butir Pancasila sama dalam dan luasnya? Penataran P4 pada masa Orba dahulu mungkin bisa dikatakan belum berhasil. Persoalannya adalah bagaimana mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila kepada setiap generasi, mensosialisasikannya kepada setiap individu masyarakat sehingga mengalahi pengaruh-pengaruh  game, sinetron picisan, berita hoax, dan nilai-nilai negative lainnya yang menggerus identitas diri bangsa.

Nilai-nilai Pancasila seharusnya diarahkan membentuk estetika bangsa, atau estetika nasional. Katakanlah itu sebagai estetika Pancasila, dan melalui nilai-nilainya cipta, karya, dan karsa anak bangsa mengkristal dan menemukan bentuknya. Estetika Pancasila berguna sebagai cermin esensi kehidupan manusia Indonesia.  Kita bisa belajar dari bangsa Jepang bagaimana estetika Wabi dan Sabi bisa menjadi penyatu perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. 

 Mustahil rasanya bisa membangun  nasionalisme yang kuat tertanam dalam diri setiap anak bangsa tanpa menterjemahkan lebih jauh nilai-nilai Pancasila kedalam prinsip-prinsip estetika. Contoh yang sederhana saja, kesusastraan kita tumbuh tak tentu arah karena kita sedang menghadapi krisis identitas sebagai bangsa, karena kesusastraan kita tidak punya estetika nasional sebagai kerangka acuan dalam mengungkapkan atau menggali esensi kehidupan manusia Indonesia.  Sekali lagi, kita butuh estetika nasional yang menterjemahkan nilai-nilai Pancasila kedalam segala aspek kehidupan berbangsa bernegara, membenamkannya kedalam dada setiap anak bangsa.

******

Ilustrasi: http://news.okezone.com
Ilustrasi: http://news.okezone.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun