Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kundan

25 Agustus 2016   22:46 Diperbarui: 25 Agustus 2016   22:58 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tahukah engkau siapa itu yang namanya Kundan?” tanya mama. Kulihat matanya bening karena linangan air mata. Bibir mama bergerak seakan ada kata-kata yang hendak disampaikannya namun terasa berat.

Pertanyaan mama membuat anganku kembali ke masa silam, kembali ke masa lalu di kota kecil tempat kelahiranku.  Aku lahir di Pendopo Talang Ubi sekitar 50 tahun silam. Saat aku berumur 9 tahun, sering kudengar orang-orang di sekitarku menyebut Kundan, nama seorang wanita muda yang kurang waras ingatannya.

Sore itu kulihat ia lewat di depan rumahku. Aku hanya mengintipnya dari dalam pagar. Ramai anak-anak mengikutinya berjalan dari belakang.  Ada yang melemparnya, ada yang meneriakinya gila, dan banyak lagi kelakuan anak-anak sebayaku yang mengganggunya. Mama selalu mengingatkan dan melarangku agar tidak ikut-ikutan mengganggu wanita itu.  Maka aku hanya menyaksikan Kundan menangis karena banyak yang mengganggu, lalu ia marah, mengamuk, dan mengejar anak-anak itu hingga ke ujung Jalan Anggrek.

Keesok sorenya aku berpapasan dengannya di dekat lapangan bola. Aku berjalan pulang dari pasar, disuruh mama belanja gula.  Kami berjalan berlawan arah, dan kali ini kulihat tidak ada anak-anak yang berjalan mengikutinya.

Tiba-tiba kulihat seorang lelaki tak kukenal menyergapnya tepat di depan mataku.  Jarak kami hanya sekitar dua puluh meter, kulihat lelaki itu berniat tidak baik. Kundan terlihat meronta-ronta, bahkan berusaha menggigit tangan lelaki yang memeluknya dari arah belakang. Aku merasa iba melihatnya, spontan aku berteriak sekeras-kerasnya:”tolong tolong tolong ada orang jahat!”

Teriakanku ternyata didengar oleh dua lelaki separuh baya yang tengah mengambil rumput di balik semak samping lapangan bola. Melihat ada yang datang, lelaki itu segera melepaskan tubuh Kundan dan berlari menghindar.

“Pergi cepat, ke arah sana,” ujar kedua lelaki penolong itu kepada Kundan. Mereka menyuruh Kundan agar cepat-cepat ke pasar karena di sana sedang ramai orang. Kundan tampak berdiri kaku, matanya terlihat liar, bergantian menatap ke arahku dan ke arah kedua lelaki penolongnya.

Akhirnya dia berjalan juga. Ketika pas melewati diriku ia berhenti sejenak, entah apa yang dilihatnya pada diriku. Mata kami saling beradu, kulihat matanya begitu bening, tidak merah seperti biasanya. Tatapannya begitu mengesankan, ada getar-getar halus yang tak kumengerti dan membuatku merasa mengambang seketika. Tatapannya itu berhari-hari membayangi diriku, sehingga aku menulisnya menjadi sebuah puisi pendek. Mama rajin melatihku menulis puisi pendek, sehingga aku punya kebiasaan mencatat segala hal yang mengesankan kedalam puisi pendek seperti yang sering diajarkan mama.

Bergetar senja

Air mata nan bening

Di mata bunda  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun