Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kundan

25 Agustus 2016   22:46 Diperbarui: 25 Agustus 2016   22:58 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: kalipaksi.me

Kutulis puisi pendek itu setelah berhari-hari merenunginya. Ketika puisi itu kutunjukkan kepada mama, ia kaget dan bertanya:” boleh mama tahu hal yang membuat abang begitu terkesan?” Lalu kuceritakan hal sebenarnya. Mama terlihat terharu, namun ia tidak berkomentar.

Tahun demi tahun berlalu begitu saja, hingga akhirnya aku dan mama meninggalkan Pendopo beberapa bulan setelah meninggalnya papa akibat serangan jantung.  Kami pindah ke Bandung, dan setelah sepeninggalnya papa, mama mengajar sebagai dosen di fakultas sastra.  Sementara aku menempuh bangku SMP, mama kuliah lagi mengambil pascasarjana hingga mencapai Doktor.  Ketika aku mulai menginjak bangku kuliah di tahun kedua, mama berhasil mendapatkan gelar Profesornya. Aku selalu bersama mama, hingga akhirnya kami berpisah setelah aku menikah dan bekerja di Jakarta.

Mama telah lama pensiun sebagai pegawai negeri, di usianya yang menginjak 75 tahun mama mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya ia menelponku agar menemaninya selama sakit. Aku punya firasat tidak enak atas permintaan mama kali ini. Kuputuskan cuti kerja, dan berembuk dengan istri bagaimana caranya agar aku bisa menemani mama. Akhirnya kami putuskan bersama, istri dan anak-anak tetap di Jakarta dan aku segera ke Bandung guna menemani mama yang sedang sakit.

Mama kembali bertanya kepadaku, “tahukah engkau siapa itu yang namanya Kundan?” ujarnya, kali ini dengan nada perasaan menyesal yang sangat mendalam.  Hal ini membuatku heran, “ada apa dengan Kundan, mama?” ujarku penasaran.

“Kemarilah,”ujarnya, menyuruhku mendekat. Mama terlihat mengambil sesuatu dari dalam buku tebal yang paling sering dibacanya. “Masih ingat ini?” kata mama, sambil memperlihatkan secarik kertas yang terlihat mulai menguning.  Sesaat kubaca, oh ternyata itu puisi pendek yang kutulis puluhan tahun silam.  Aku mengangguk, “mama menyimpannya?”

“Benar nak, mama sengaja menyimpannya hingga puluhan tahun.  Karena bagi mama inilah Haiku yang paling hebat yang pernah mama tahu,” jelasnya.

Mama terdiam beberapa saat, lalu kemudian katanya: “ Haiku ini keluar dari dalam relung jiwamu nak, ada semacam ruh yang menuntunmu ketika menuliskannya.  Mama hanyalah wanita yang telah mengasuh dan membesarkanmu hingga sekarang. Namun wanita yang melahirkanmu ke dunia ini adalah Kundan…engkau telah mengetahuinya tanpa ada orang yang memberitahumu…” mama menangis, dan tidak sanggup melanjutkan ceritanya.  Kami saling berpelukan, sama-sama menangis.

Akhirnya kusadari bahwa hal ini telah menjadi beban mental yang sangat berat bagi mama, sulit baginya untuk terus merahasiakan perihal ibu kandungku.  Mungkin mama menyadari bahwa usianya tidak begitu lama lagi sehingga ia harus mengatakannya sebelum ajal tiba.

“Maafkan mama nak, karena telah merahasiakan hal ini selama puluhan tahun,” ujarnya, melepaskan beban mental yang telah menghimpitnya selama ini. “Mama tetap mamaku juga, Tuhan yang mengatur semua ini.  Rasa hormat tidak berkurang, bahkan semakin tinggi atas kebaikan mama mengungkapkan rahasia siapa ibu yang telah melahirkanku ke dunia. Percayalah,  anakmu ini bersyukur atas anugrah dua ibu yang diberikan Tuhan bagi hidupku.”

Mama terlihat lega setelah mendengar tanggapanku. Wajahnya terlihat berseri-seri. Aku memeluknya, dan mencium keningnya.  “Sekarang saatnya mama harus pergi, jaga anak istrimu baik-baik,” ujarnya berbisik.

Aku terkejut, segera kutatap wajahnya. Nafasnya terlihat mulai tidak teratur.  Segera kuhubungi perawat jaga di rumah sakit.  Upaya medis secara maksimal telah dilakukan namun yang namanya ajal tidak akan maju atau mundur barang sedetikpun. Akirnya mama meninggal dunia dalam bimbinganku, saat ia mengucapkan kalimah tauhid, hingga akhir nafasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun