Bila hidup ini adalah anugrah maka bagiku anugrah itu adalah suka dan duka yang selalu silih berganti. Bila hidup ini adalah derita maka derita itu bagiku adalah nafas dari kehidupan itu sendiri.
Aku pernah merasakan hidup yang serba berkecukupan. Masa kecil yang bahagia di antara kemewahan dan kasih sayang kedua orang tua serta satu-satunya saudara kandungku yang tercinta, Kak Narti. Papaku dulu seorang pejabat penting di negri ini. Tidak ada hal yang menyulitkan bagi kami sekeluarga dalam hidup ini. Mobil ada, uang saku berlebih, banyak teman-teman yang datang ingin bersahabat denganku, dan tentu saja banyak lelaki ganteng yang ingin menjadikan diriku sebagai kekasihnya.
“Hallo Sally,” sapa teman-temanku setiap pagi, setiap kali melihatku di gerbang sekolah. Ah…aku menjadi bintang di mata teman-temanku. Mungkin karena memang wajahku cantik atau mungkin juga karena aku anak seorang pejabat penting di negeri ini.
Hingga akhirnya aku tamat SMA. Papa menyuruhku kuliah di luar negeri. Pilihannya antara Amerika, Australia, atau Singapore. Namun aku tidak tertarik dengan anjuran papa, aku malah memilih kuliah di Bandung. Aku kuliah memasuki tahun kedua, tiba-tiba terjadilah sesuatu yang tak terduga dan akhirnya merubah nasib kami sekeluarga.
Papa ditangkap KPK atas tuduhan mengkorupsi uang Negara. Papa menjadi berita hangat selama berbulan-bulan baik itu di koran, televisi, atau pun media sosial. Langit tiba-tiba runtuh, di saat papa sedang tertekan seperti itu tiba-tiba mama meninggal karena serangan jantung.
Kak Narti, saudaraku yang tengah kuliah di Amerika tiba-tiba memutuskan berhenti kuliah dan kembali ke tanah air. “Aku bisa jadi gila dengan semua ini,” teriak Kak Narti seuasai lepas tujuh hari meninggalnya mama. Akhirnya Kak Narti betul-betul jadi gila, nekad bunuh diri setelah mendengar vonis hukuman papa selama 25 tahun.
Aku harus pindah dari rumah yang kuhuni karena seluruh harta kekayaan papa disita oleh KPK. Aku bingung entah harus ke mana, semua saudara papa dan mama tiba-tiba menjauh dan tidak ada yang bersedia menolongku. Akhirnya aku memilih mengontrak sebuah kamar kecil dibilangan gang sempit di kota Bandung. Papa ditahan di LP Sukamiskin Bandung, aku berusaha agar tetap dekat dengan papa, berusaha membujuknya agar bersedia menjalani kehidupan apa adanya.
Setahun kemudian papa meninggal dalam penjara karena stress tidak mampu menghadapi kenyataan. Lelaki yang mempersuntingku dua tahun kemudian tiba-tiba menghilang, sejak tidak ada lagi harta yang melekat pada tubuhku. Aku sebatang kara, hidupku berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain karena diusir tidak mampu membayar uang sewa.
Takdir hidupku, alur kehidupan yang tak terduga akhirnya menyeretku tinggal di rumah kardus di bantaran Kali Cikapundung. Aku akhirnya menikah dengan sesama pemulung, hidup seadanya. Ada kala kenangan lama tiba-tiba muncul dalam ingatan, dan hal itu membuatku jadi menangis. Bila sedang begitu biasanya suamiku datang mendekatiku, kukatakan kepadanya: “ biarkan sejenak aku menangis!”.
*****