Orang-orang kampung kami menyebutnya ‘Anak Culun’. Entah kenapa sebutan aneh itu bisa melekat pada dirinya. Mungkin karena dia sering merengek-rengek minta diperhatiin sama neneknya, mungkin juga karena dia sering mengatain orang ‘culun’ sehingga sebutan itu justru malah berbalik melekat pada dirinya sendiri.
Emaknya dukun beranak, sedangkan bapaknya tukang santet yang tewas dikeroyok orang sekampung gegara mengaku dirinya nabi. Sejak emaknya meninggal gegara penyakit aneh, Culun diasuh oleh neneknya yang konon katanya dulu pernah diperkosa oleh tentara Jepang yang dijuluki Babah Liong.
Si Culun mengetahui bahwa neneknya pernah diperkosa Babah Liong. Karena itu dia sangat benci sekali dengan keluarga besar Babah Liong yang banyak hidup di kota. Pokoknya setiap kali ada kesempatan untuk melampiaskan sakit hatinya kepada keluarga itu maka tidak pernah disia-siakannya. Segala umpatan, fitnah, dan sejenisnya selalu dia lontarkan sesuka hatinya. Pokoknya menghujat, masalah benar atau salah itu urusan belakangan baginya.
Suatu ketika ada sedikit keramaian di desa kami. Maklum , musimnya Pilkada. Menjelang pemilihan Gubernur, banyak bakal calon gubernur yang tiba-tiba peduli dengan orang miskin di desa-desa, peduli dengan nasib nelayan kampung kami yang terus menerus terlilit kemiskinan. Mereka itu ada yang latar belakangnya pengusaha, musisi setengah dewa, dan ada juga mantan menteri serta pengacara terkenal karena pandai membela orang-orang kaya dan koruptor.
Seiring dengan munculnya para bakal calon gubernur itu, tiba-tiba saja desa kami kedatangan banyak orang aneh. Entah dari mana asalnya. Kelakuan mereka itu sungguh aneh, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja kampung kami diramaikan oleh suara-suara kampanye: “Pokoknya asal bukan Ahok!”
Kami yang merupakan penduduk asli kampung itu jadi terheran-heran. Kami tidak tahu siapa itu yang namanya Ahok. Maklum orang desa, nama camat desa kami saja kami tidak tahu. Apalagi yang namanya Ahok. “Sejenis makanan apa itu?” tanya kami dalam hati.
Si Culun, makhluk yang paling aneh di desa kami, tiba-tiba tambah bergiat melontarkan culunnya. Kalau Si Culun sudah menculun maka berputar baliklah segala kebaikan menjadi keburukan. Pokoknya tidak ada kebaikan yang diperbuat oleh orang yang sangat dibencinya, semuanya buruk! Tiba-tiba saja dia jadi orang pintar berpolitik, omongannya pokoknya serba politik. Mulai dari politik nasi bungkus, politik penulis amplop, hingga politik nasi basi pun pandai dimainkannya. Kami orang-orang desa yang rata-rata pendidikannya cuma tamat SD nggak nyambung dengan omongannya. Saking bodohnya kami cuma ketawa-tawa sembari bilang dalam hati “sana lo ngomong sama sapi, hari gini sapi juga sudah pintar berpolitik!”.
Usut punya usut ternyata ada yang berhasil mengorek keterangan dari mulut Si Culun kenapa dia begitu benci kepada yang namanya Ahok. Rupanya gegara neneknya pernah diperkosa oleh Babah Liong maka kepada siapa pun yang mirip-mirip Babah Liong pasti dibencinya. Kami tidak kenal dengan yang namanya Ahok. Makanya kami cuma ketawa-tawa saja mendengarkan ocehan caci makinya tentang Ahok. Ketica Si Culun menculun maka di matanya isi dunia ini hanya hitam, tidak ada yang putih. Lama kelamaan kami bosan juga mendengarkan ocehannya yang nggak pernah kami mengerti apa maksudnya. Akhirnya kami mulai mengambil ancang-ancang untuk mengerjainya.
Pagi itu selasai mencoblos di TPS seluruh anak muda desa kami berkumpul. Seperti yang sudah direncanakan semuanya membawa kentungan. Lewat tengah hari kami ramai-ramai membunyikan kentungan keliling desa sambil meneriakan kata-kata “Ahok menang Ahok menang..” Si Culun yang mendengar keriuhan itu tiba-tiba marah. Katanya:” kata siapa Ahok menang!?”
“Kata Bang Thoyip. Dia barusan telepon dari kota. Katanya Ahok sudah pasti menang. Ayo kamu mau bilang apa sekarang?” ujar Karwo.
“Hai hai….mulutmu adalah harimaumu. Kalau berjanji harus ditepati. Siapa yang berjanji akan loncat dari pohon petai kalau Ahok bisa menang ya harus ditepati dong,” sahut Sunil.