Fungsi dan tujuan partai politik (Parpol) adalah sebagai organisasi resmi penyalur aspirasi rakyat yang memiliki kekuatan politik, organisasi yang berperan penting dalam proses pembentukan kekuasaan pemerintah secara legal. Â Peran Parpol juga sangat strategis terkait legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Â Parpol juga mengemban amanah menjalankan fungsi rekruitment politik atau suatu proses seleksi atau rekruitment anggota kelompok atau mewakili kelompoknya untuk mengisi jabatan-jabatan politik untuk tingkat daerah maupun pusat.
Pada tanggal 23 Juli 2007 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah soal calon independen pada Pilkada. Melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 yang mengubah undang-undang sebelumnya, calon independen dibolehkan ikut Pilkada tanpa melalui jalur Parpol. Jalur independen merupakan tantangan besar bagi Parpol dalam menjalankan fungsi rekruitment politik yang dimilikinya.
Jalur independen adalah jalur alternatif ketika pesimisme publik menguat terkait kemampuan Parpol mengelola pemerintahan dan kekuasaan, terkait pula kaderisasi dan rekruitment politik yang kurang matang, dan juga terkait persepsi publik terhadap kinerja Parpol pasca reformasi yang sangat jauh dari yang diharapkan. Sejauh ini publik menilai bahwa Parpol sulit keluar dari jerat lingkaran setan persoalan kelembagaan yang sifatnya tergolong masalah internal partai: manajemen partai tidak berjalan, konflik internal yang berkepanjangan, kepemimpinan partai yang dikelola bagai kerajaan, dan juga terkait moralitas dan etika berpolitik para kader Parpol yang sering menjadi cibiran publik.
Alih-alih mengurus negara ini dengan benar, mengurus masalah internal partai sendiri tak kunjung tuntas. Parpol harus berbenah diri selagi bangsa ini tetap berkomitment bahwa NKRI adalah sebuah negara demokrasi dalam rangka menyelenggarakan pembangunan yang bertujuan menciptakan kemakmuran bagi bangsa Indonesia.
Sejauh ini Parpol cenderung melucuti atau memandang dengan sebelah mata nalar publik, dan memperlihatkan kecongkakannya dalam mendengar dan membaca aspirasi konstituennya. Sering kali publik merasa ditinggalkan, dikhianati, ditipu atau diakal-akali oleh Parpol. Gedung Parlemen yang seharusnya menjadi rumah kebanggaan rakyat ternyata tak ubahnya sarang penyamun, menjadi rumah tempat tikus-tikus kepala hitam bermusyawarah dan bermufakat bagi kepentingan diri dan kelompoknya.
Dukungan publik terhadap jalur independen bukan cuma soal kepercayaan atau yang biasa diindikasikan sebagai suatu bentuk delegitimasi Parpol. Tetapi juga menyangkut kritik publik terhadap budaya politik dagang sapi serta merupakan suatu dorongan untuk menciptakan efektifitas pemerintahan ditengah-tengah buruknya manajemen partai. Antagonis, stigma berprilaku manipulatif dan koruptif adalah citra Parpol di mata publik hari ini.
Jika calon independen berhasil terpilih dalam Pilkada maka yang bersangkutan harus bisa mengatur keseimbangan kekuasaan dengan lembaga legislatif yang merupakan representasi Parpol. Menjalankan pemerintahan tanpa dukungan politik di legislatif akan sangat menyulitkan bagi seorang kepala pemerintahan daerah. Guna mendobrak banyak hambatan yang bakal terjadi maka diibutuhkan sosok seorang kepala daerah yang berani, tegas, jujur, dan mendapat dukungan kuat dari publik karena telah terbukti mampu bekerya dengan baik.
Berbicara dalam rangka Pilgub DKI 2017, hari ini publik melihat sosok seorang Basuki Tjahya Purnama atau biasa disebut Ahok memenuhi syarat sebagai sosok gubernur yang dibutuhkan bagi pembenahan Jakarta yang memiliki permasalahan yang kompleks. Ahok menjadi harapan publik untuk mendorong terjadinya sebuah perubahan signifikan terhadap citra dan perilaku Parpol. Â Akankah Parpol kembali melucuti aspirasi publik dengan cara menggagalkan pencalonannya sebagai akibat kekhawatiran yang berlebihan? Pilgub DKI Jakarta 2017 dan fenomena 'teman Ahok' yang merupakan representasi ketidakpuasan publik atas kinerja Parpol, akan menjadi ujian berat bagi masa depan Parpol besar yang bermimpi menguasai Jakarta pada Pemilu Tahun 2019.
Publik pasti melihat dan menilai seperti apa situasi dan kondisi yang berkembang menjelang Pilgub DKI 2017. Publik telah cukup cerdas untuk menolak isu SARA atau berbagai bentuk kampanye hitam yang bertujuan menjatuhkan kredibilitas sang calon independen. Â Sekarang pilihannya ada di tangan Parpol, berubah dan mulai meninggalkan cara-cara lama atau bersiap-siap menerima hukuman pada Pemilu Legislatif Tahun 2019? Setiap kekecewaan akan menjadi ingatan publik dan pada akhirnya akan berbuah menjadi hukuman bagi Parpol yang berani mengabaikannya. PKS, Demokrat, PDIP, dan Golkar pernah merasakan bagaimana rasanya dihukum rakyat lewat Pileg. Akankah Pilgub DKI 2017 memakan korban, menjadi ajang kuburan masal bagi Parpol besar seperti Gerindra, PKS, PDIP, Golkar, dan Demokrat?
*******
Sumber Ilustrasi:
http://www.rmol.co/images/berita/thumb/thumb_344475_11505810032016_dem.JPG
[caption caption="Sumber Ilustrasi: http://www.rmol.co/images/berita/thumb/thumb_344475_11505810032016_dem.JPG"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H