[caption caption="Sumber Ilustrasi: cdn.sindonews.net"][/caption]Revisi UU KPK yang menuai gelombang protes ditunda pembahasannya di DPR. Kesepakatan bersama pemerintah dan DPR untuk menunda proses revisi ini ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Partai Gerinda dan PKS secara tegas mengatakan seharusnya buka cuma ditunda, tetapi harus dicabut dari Prolegnas. Berbeda dengan PDIP dan Golkar yang tetap ngotot menginginkan agar pembahasan tetap berlanjut.
Menarik disimak sikap PKS yang bertentangan dengan sikap Fahri Hamzah terhadap KPK. Fahri Hamzah bukannya sekali dua meneriakkan pembuburan KPK. Sikap geram Fahri Hamzah itu telah ditunjukkannya sejak Lutfi Hasan Ishaq dijadikan tersangka oleh KPK. PKS dibawah kepemimpinan Sohibul Iman justru mengambil sikap berseberangan dengan Fahri Hamzah. Sikap PKS menolak revisi UU KPK ini pantas diapresiasi. Namun apabila ada kader partainya yang terjerat dalam kasus yang ditangani KPK, apakah sikap PKS ini akan tetap sama?
Sikap Gerindra menolak revisi UU KPK boleh dibilang cukup konsisten. Sikap Gerindra tetap sama ketika usulan revisi UUKPK dibahas di zaman SBY berkuasa. Trio DPR yang terkenal itu, yakni: Setnov, Fahri, Fadli Zon terlihat pecah kongsi. Sikap menolak yang diperlihatkan oleh Fadli Zon terhadap revisi UU KPK berseberangan pendapat dengan Setya Novanto dan Golkarnya, berbeda pendapat pula dengan pemikiran Fahri Hamzah selama ini.
Sikap PDIP dan Hanura saat ini sangat bertolak belakang dengan sikapnya ketika usulan revisi UU KPK itu diajukan di zaman SBY. Golkar adalah partai yang tetap konsisten mendukung revisi UU KPK. Disini terlihat bahwa usulan revisi UU KPK itu sebetulnya lebih bermuatan politis ketimbang upaya memperbaiki keadaan bangsa ini dari jarahan para mafia dan koruptor.
Menarik pula menyimak sikap Partai Demokrat. SBY terlihat sibuk mengupayakan penolakan terhadap revisi UU KPK. Mengingat usulan revisi itu juga ada terjadi di zaman SBY berkuasa, sikap yang diperlihatkan SBY dan Partai Demokratnya lebih kurang sama, menjadikan revisi UU KPK sebagai permainan politik belaka. Sikap balas dendam dan upaya membangun pencitraan tidak dapat ditutup-tutupi.
Sikap Presiden Jokowi yang hanya berani bilang “menunda” juga menjadi sorotan. Ada yang bilang sikap itu diambil Jokowi agar PDIP dan Golkar tidak merasa sakit hati. Kata “menunda” yang dimaksudkan Jokowi bisa ditafsirkan sebagai sikap menghargai DPR, menghargai proses yang telah terjadi di DPR. Ketua DPR RI Ade Komarudin mengatakan: “usulan revisi UU KPK tetap tercantum di Prolegnas”. Artinya sewaktu-waktu revisi UU KPK dapat dibahas kembali. Menunda sementara sambil melakukan sosialisasi sebelum membahasnya kembali tidak akan mencabut akar permasalahan yang ada, yakni kekhawatiran publik atas pelemahan KPK.
Selama ini itikad merevisi UU KPK lebih bersifat politis ketimbang upaya memperkuat KPK. Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK telah berkali-kali terjadi. Seharusnya Presiden Jokowi berpikir lebih memprioritaskan perlindungan terhadap Pimpinan KPK ketimbang ikut mengutak-atik tugas dan kewenangan KPK. Bila KPK sehat dan kuat serta tidak membuat gaduh yang tidak perlu toh pemerintah juga yang diuntungkan atas kinerjanya.
Sikap Presiden Jokowi terhadap KPK sebetulnya telah terbaca dengan jelas. Namun banyak orang-orang penting di sekitarnya yang punya pemikiran lain tentang KPK. Kecerdikan Jokowi, menunggu reaksi publik lalu mengambil sikap adalah upaya dirinya keluar dari jepitan partai pengusungnya. Kegaduhan demi kegaduhan hanya membuang-buang waktu. Presiden Jokowi perlu dukungan kuat dari ‘orang-orang baik' di sekitarnya. Gerakan revolusi mental harus dimulai dari atas, bukan dari rakyat kecil yang disuruh berhemat!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H