Suatu malam di tengah lebatnya hutan rimba terdengar suara gaduh pemburu. Mereka memukuli semak-semak dan tempat-tempat lainnya yang diperkirakan tempat persembunyian Kancil. “Anakku berhati-hatilah melangkah, ada perangkap di mana-mana. Mereka memasang jerat di banyak tempat untuk menangkap kita,” kata induk Kancil kepada anaknya.
“Takut bunda, kakiku tak kuat melangkah apalagi berlari. suara gaduh yang mereka timbulkan membuatku menjadi takut dan bingung,” sahut si anak Kancil
“Begitulah mereka anakku, mereka berusaha membuat kita menjadi takut dan kehilangan akal.,” kata si induk. “Mereka meneror kita karena menginginkan sesuatu dari kita,” lanjutnya.
“Apa yang mereka inginkan dari kita, bunda? Apa karena kita makhluk kecil yang tak bertaring dan bercakar lantas mereka memburu-buru kita?” tanya si anak Kancil.
“Sudah nasib kita anakku, daging tubuh kita merupakan makanan yang lezat bagi mereka,” jawan si induk Kancil. “Bukankah masih banyak hewan lain yang tubuhnya lebih besar, dagingnya lebih banyak untuk mereka santap?” sahut si anak.
“Sama saja, hewan besar atau kecil akan menjadi mangsa mereka sekiranya berhasil tertangkap. Kita yang kecil ini hewan lemah, kita harus pandai-pandai melindungi diri dari sergapan manusia, harimau, buaya, atau pun ular,” ujar si induk. “Tetapi bukankah kita punya kecerdikan yang lebih dibandingkan mereka?” sahut si anak.
“Kecerdikan tidak selamanya mampu mengalahkan kekuatan, anakku. Keberuntunganlah yang dapat mengalahkan segalanya, “ kata si induk sambil menatap dalam kepada anaknya yang terlihat gemetar ketakutan.
Suara-suara pemburu kian mendekat ke tempat persembunyian mereka. “Mari kita gali lobang sedalam mungkin, dan kita timbuni tubuh kita dengan tumpukan reranting dan dedaun kering,” ujar si induk. Keduanya menggali lobang dengan cepat, hutan gambut yang penuh dengan tumpukan dedaunan kering itu membuat mereka dapat menggali lobang dengan cepat dan kemudian menimbuni tubuhnya dengan dedaunan.
Beberapa orang pemburu itu hanya beberapa langkah dari tubuh mereka. “Kosong, pada ke mana kancil-kancil yang sering terlihat jejaknya di daerah sini,” ujar salah seorang pemburu itu. “Mungkin mereka sudah keburu lari,” jawab temannya.
Salah seorang dari pemburu itu bernyanyi, “Si Kancil anak nakal, suka mencuri ketimun, ayo lekas dikejar, jangan diberi ampun,” ujarnya, menyanyikan lagu anak-anak yang sangat akrab ditelinga orang desa itu. Tak lama kemudian para pemburu itu berjalan menjauh, dan hingga menjelang subuh tidak ada lagi suara-suara para pemburu yang terdengar. Mereka tengah berkumpul dan bersembunyi di suatu tempat, sambil mendengarkan kalau-kalau ada suara lengkingan Kancil yang terkena jerat yang mereka tebar.
Induk Kancil dan anaknya mulai keluar dari tempat pesembunyiannya. Terasa lapar karena dari tadi tidak berani mencari makanan, akhirnya si induk mengajak anaknya berjalan mencari makanan, dan mereka memakan pucuk dedaunan, pucuk pepohon kecil yang baru tumbuh. Sambil menyantap dedaunan itu si anak kancil bertanya kepada induknya, “bunda, kenapa mereka mengatakan kita suka mencuri ketimun?” ujarnya penasaran
“Begitulah manusia anakku, ada satu atau dua ekor Kancil yang mencuri ketimun lantas mereka bilang seluruh kancil adalah pencuri ketimun. Padahal hanya kancil yang kepepet karena sangat kelaparan yang mau makan ketimun. Kalau ada makanan yang lain, tentu lebih lezat memakan dedaunan dan rumput,” jawab si induk. “Tetapi bunda, di bagian mana dari hutan ini yang ada tanaman ketimunnya?” tanya si anak.
“Di kebun yang berbatasan dengan hutan. Mereka menebangi hutan-hutan yang luas, bahkan kerap membakarnya sehingga hewan-hewan liar seperti kita jadi kesulitan makanan. Para pemburu itu perambah hutan, namun mereka marah ketika hewan-hewan lapar mengganggu kebun mereka. Seakan-akan menegakkan kebenaran, namun kaki mereka tidak berdiri di atas kebenaran,” ujar si induk Kancil. “Teroris ya teroris…manusia makhluk penebar teror yang paling kejam. Jangankan hewan, diri sendiri pun rela mereka bunuh demi iming-iming sebuah sorga, “ujar si induk.
Tiba-tiba si induk kancil itu melihat sebuah jerat yang dipasang oleh pemburu, tepat di depan kaki anaknya. Si induk Kancil segera melompat mendorong tubuh anaknya agar tak masuk perangkap yang menjerat. Sementara tubuh anaknya terdorong, kaki si induk malah menyentuh jerat dan akhirnya ia terjerat, dan tubuhnya tergantung. Si anak Kancil terlihat panik namun ia tak kuasa menolong induknya agar terlepas dari tali jerat. Si induk Kancil menyadari bahwa hidupnya akan segera berakhir di tangan manusia. Lantas dikuatkannya hatinya, sembari berpesan kepada anaknya: “Anakku, ingatlah pesan bunda. Jangan lupakan jerat, karena jerat tak pernah melupakan dirimu. Waspadalah selalu, jangan lupakan bahaya yang selalu mengintaimu!”
Si anak Kancil mengangguk dan mengingat baik-baik pesan terakhir dari induknya. Setelah menyampaikan pesan itu, induknya menyuruhya segera menjauh karena sebentar lagi akan ada pemburu yang mendatanginya. Sambil menahan perih dan luka, si anak kancil terus melangkah, dan terus diulang-ulangnya pesan terakhir induknya agar tidak lupa, “ jangan lupakan jerat, karena jerat tak pernah melupakan dirimu!”
******
Batam, 27 Januari 2016.
Sumber Ilustrasi:
http://3.bp.blogspot.com/-vYMSh-Dwwb8/UH9Y8qkFsHI/AAAAAAAAAu4/BadSpNkGbnU/s1600/mammal-kancil.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H