Burung-burung itu mengusik tidurku dengan suara gemericitnya. Aku terbangun dari tidur, rasa kantuk masih bergayut di mata. Namun riuh-rendah suara Burung Gereja itu terasa menusuk-nusuk telingaku. “Ada apa, bukan kah musim sudah mulai berubah, kabut asap sudah tak ada lagi?” tanyaku dalam hati.
Kubuka jendela, kulihat burung-burung itu ramai hinggap di Pohon Kersen. Ya…pohon nan rindang itu berbunga tak kenal musim, selalu ada buahnya sepanjang tahun. Mereka ramai di reranting yang penuh dengan buah yang masih kecil, ada yang sibuk mematuki buahnya yang merah yang ada di dekatnya, ada pula yang terlihat sibuk mencari ulat atau serangga kecil yang biasa bersembunyi di balik daun.
Sekawanan Burung Gereja, mereka sekelompok burung tabah yang coba bertahan hidup di perkotaan. Mereka hidup di sela-sela atap, bersembunyi di dalam plafon luar, bahkan juga di celah-celah tembok bangunan atau di lobang angin-angin rumah atau gedung. Helai demi helai rerumput kering mereka susun, bahkan sangat besar untuk ukuran sebuah sarang bagi burung sekecil itu. Namun burung itu tidak penyendiri, mereka biasa membuat sebuah sarang yang besar sebagai rumah bersama. Di sana mereka bertelur, di sana pula mereka menghabiskan waktu malam berlalu.
Suara gemericit itu tak juga mereda. Kukira mereka lapar, lalu kutabur segenggam beras di bawah pohon itu. Tanpa rasa takut atau curiga, mereka segera turun dan mematuki beras itu satu persatu. Mereka terlihat jinak namun tak mudah untuk menangkapnya. Kupandangi mereka mematuki beras itu hingga habis, dalam sekejap. Burung yang tabah, mereka kadang terlihat mencari sisa nasi di dekat dapur. Kadang juga terlihat ramai menyebar di luas rumput halaman rumah mematuki apa saja yang bisa dimakannya.
Seperti Burung Gereja pada umumnya, burung-burung itu terlihat kecil, berwarna coklat-kelabu, ekornya pendek dan paruhnya kuat. Ia sahabat yang rajin menyapuku setiap pagi. Ketika kabut asap berminggu-minggu mencemari udara kotaku, mereka pada menghilang entah ke mana. Setelah hujan deras selama beberapa hari terakhir kudengar mereka sudah mulai kembali, kudengar kembali suara gemericit mereka di Pohon Kersen itu.
Burung yang tabah, ia yang bertahan dalam perubahan lingkungan yang terus menekan populasinya. Dengan sepasang sayapnya yang mungil tidak ada yang tahu seberapa jauh jarak yang ditempuhnya di siang hari. Dengan paruhnya yang kecil dan kuat, ia mampu bertahan hidup di perkotaan, mandiri dan tetap berada di alam kebebasannya. Dengan paruhnya yang kecil itu tidak mungkin ia bisa membelah gunung atau mengeringkan lautan. Namun berkat ketabahannya, membuat paruhnya yang kecil itu lebih kuat dari sepasang tangan manusia!
“Burung yang tabah
Mengais rumput basah
Mencari makan”
(“BURUNG GEREJA DI RUMPUT” Haiku Karya Beni Guntarman / Dikutip dari Buku 1000 Haiku Indonesia)
*****
Batam, 2015.