Revolusi teknologi AI sedang mengubah wajah dunia kerja secara dramatis. Di masa kini, kita menyaksikan fenomena di mana pekerjaan yang dulu sepenuhnya mengandalkan keterampilan manusia kini digantikan oleh kecerdasan buatan. Salah satunya adalah penerapan teknologi AI di sektor ritel Indonesia. Kehadiran ratusan bahkan ribuan mesin kasir otomatis di gerai-gerai seperti Alfamart dan Indomaret. Transaksi yang sebelumnya melibatkan kasir manusia kini dilakukan secara mandiri oleh pelanggan, meningkatkan efisiensi dan kenyamanan.
Namun, di balik inovasi ini, sebuah kisah kelam mengemuka yang mencerminkan ketidakadilan. Dalam waktu singkat, banyak pekerja kasir yang berupah rendah kehilangan pekerjaan mereka akibat otomatisasi, sementara mereka yang tidak memiliki keterampilan teknis terjebak dalam ketidakpastian. Ketika perubahan teknologi seharusnya membawa kemajuan, banyak dari mereka tidak memiliki akses ke pelatihan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan tuntutan baru, meninggalkan mereka dalam situasi yang semakin sulit.
Efisiensi Hadir, namun Ketidakadilan Mengintai
Penerapan teknologi AI dan metode tradisional menunjukkan dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, terhadap tenaga kerja. Di satu sisi, penerapan AI membawa efisiensi yang lebih tinggi dan pengalaman pelanggan yang lebih baik. Dengan adanya mesin kasir otomatis di gerai seperti Alfamart dan Indomaret, proses transaksi menjadi lebih cepat, mengurangi antrean, dan memberikan kenyamanan bagi pelanggan. Menurut McKinsey & Company, hingga 2030, otomatisasi dapat meningkatkan produktivitas di sektor ritel, yang dapat berujung pada penghematan biaya operasional bagi perusahaan.
Namun, dampak negatif dari penerapan teknologi AI tidak bisa diabaikan. Banyak pekerja kasir yang berupah rendah kehilangan pekerjaan mereka akibat otomatisasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di sektor ritel mencapai 8,1% pada tahun 2022, meningkat dari 6,2% pada tahun 2020. Pekerja yang terpaksa bertahan di tengah perubahan ini sering kali menghadapi beban kerja yang lebih berat dan tekanan, karena mereka harus menangani masalah teknis dari sistem otomatis tanpa pelatihan yang memadai. Ini menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan teknis.
Di sisi lain, dalam sistem ritel tradisional yang tidak mengadopsi teknologi AI, pekerja kasir menikmati stabilitas pekerjaan yang lebih besar. Mereka memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan pelanggan, membangun hubungan yang meningkatkan loyalitas pelanggan. Pekerja di lingkungan ini juga dapat mengembangkan keterampilan interpersonal yang berharga. Namun, keterbatasan dalam efisiensi dan kecepatan layanan dapat mengakibatkan antrean panjang dan pengalaman pelanggan yang kurang memuaskan.
Bayangkan seorang kasir yang telah bekerja di sebuah minimarket selama lima tahun. Setiap hari, ia melayani pelanggan dengan senyum dan cekatan menghitung total belanja. Namun, suatu hari, mesin kasir otomatis dipasang di tokonya. Kini, pelanggan bisa melakukan pembayaran sendiri, tanpa bantuan kasir tersebut. Pada awalnya, ia masih dipertahankan untuk membantu pelanggan yang kesulitan, tetapi perlahan, pengurangan jam kerja mulai terjadi.
Hingga suatu pagi, manajer mengabarkan bahwa perannya tidak lagi dibutuhkan. Tanpa keterampilan teknis atau kesempatan pelatihan, kasir ini merasa cemas dan terjebak dalam ketidakpastian. Inovasi teknologi yang seharusnya membawa kemajuan justru menggesernya dari pekerjaannya tanpa memberi peluang untuk beradaptasi, meninggalkan masa depan yang penuh tanda tanya.
Teknologi selayaknya menjadi alat yang mempermudah hidup dan memperluas kesempatan kerja bagi manusia, tetapi kenyataan di lapangan tidak selalu demikian. Di sektor ritel Indonesia, misalnya, pengenalan mesin kasir otomatis di berbagai minimarket telah mengubah cara kerja kasir manusia. Kini, pelanggan dapat melakukan pembayaran secara mandiri tanpa bantuan kasir, yang sebelumnya berperan penting dalam setiap transaksi. Akibatnya, banyak kasir yang harus kehilangan pekerjaan karena tidak memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk bertahan dalam perubahan ini.
Pekerja yang tetap dipertahankan sering kali diberi tanggung jawab tambahan, seperti menangani masalah teknis mesin, meski tanpa pelatihan yang layak. Ketika teknologi seharusnya membuka peluang baru, justru banyak pekerja terjebak dalam ketidakpastian dan kesulitan beradaptasi. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan yang mendukung kemampuan teknis agar para pekerja bisa mengikuti perkembangan teknologi tanpa harus tersingkir.
Kenyataannya, perkembangan teknologi AI yang begitu pesat di sektor ritel justru menimbulkan dilema bagi para pekerja. Kehadiran mesin kasir otomatis yang menggantikan peran kasir manusia memang menawarkan efisiensi, tetapi sekaligus membuat banyak pekerja berupah rendah kehilangan mata pencaharian mereka. Di balik janji kemajuan, ada ketidakadilan yang kian mencolok: sementara perusahaan meraup keuntungan dari biaya operasional yang lebih rendah, pekerja yang setia bertahun-tahun malah terpaksa tersingkir tanpa pelatihan yang layak untuk menghadapi tuntutan era baru ini.