Mohon tunggu...
Ben Herdianto
Ben Herdianto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Kolese Kanisius

haii

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehilangan Budaya Bukanlah Akhir dari Nasib Indonesia

24 November 2024   12:06 Diperbarui: 24 November 2024   12:11 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era globalisasi ini, Indonesia sebagai negeri yang kaya akan keberagaman budaya, membentang dari Sabang hingga Merauke, merupakan salah satu negara dengan warisan budaya paling beragam di dunia. Mulai dari seni tari tradisional, alat musik khas, hingga ritual adat, setiap daerah memiliki keunikan tersendiri. Selama ratusan tahun, Indonesia dikenal dengan budaya lokal yang diwariskan turun-temurun. Namun, di tengah gempuran globalisasi, hal ini mulai tersingkir oleh arus budaya asing yang lebih modern dan populer. Di era ini, budaya lokal menghadapi ancaman serius, tak hanya dari modernisasi, tetapi juga dari fenomena "fusion culture" yang memburamkan batas antara tradisi dan inovasi global.


Budaya tradisional Indonesia memiliki keunikan yang sulit ditandingi oleh budaya luar. Sebagai contoh, Tari Saman memadukan gerakan dinamis dengan syair-syair penuh makna yang mencerminkan kekompakan dan kebersamaan. Sedangkan, di luar sana, budaya pop modern cenderung menawarkan hiburan instan tanpa kedalaman filosofis. Musik tradisional seperti gamelan Jawa atau angklung Sunda memiliki struktur musikal yang kompleks dan membutuhkan keterampilan tinggi untuk memainkannya. Bandingkan dengan musik modern yang meskipun menarik perhatian banyak orang, mereka lebih mengutamakan irama repetitif dan efek digital. Meski budaya modern menawarkan kemudahan dan daya tarik global, budaya tradisional memiliki nilai-nilai luhur yang seringkali hilang dalam proses adaptasi ini.

Di sebuah desa di Bali, Tari Kecak dulunya menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, sering kali dipentaskan sebagai ritual keagamaan. Namun kini, tarian tersebut lebih sering menjadi atraksi untuk wisatawan mancanegara. Para penarinya bukan lagi penduduk asli yang melestarikan tradisi, melainkan kelompok profesional yang dilatih untuk tujuan hiburan. Di Jawa, wayang kulit yang dulu menjadi media pendidikan dan hiburan rakyat kini mulai tergantikan oleh serial drama dan film dari luar negeri. Generasi muda lebih memilih menonton Netflix atau scrolling di media sosial daripada menyaksikan pertunjukan yang mengisahkan kisah-kisah lokal Mahabharata ataupun Ramayana.


Fusion culture menjadi salah satu cara masyarakat Indonesia mencoba menyeimbangkan tradisi dan modernisasi. Misalnya, masakan tradisional seperti rendang kini sering diberi sentuhan dunia internasional, seperti penggunaan saus barbeque atau keju. Di bidang fashion, kebaya yang dahulu hanya digunakan pada acara resmi kini didesain dengan potongan modern untuk menarik perhatian generasi muda. Bahkan dalam seni, gamelan tradisional mulai dipadukan dengan alat musik elektronik untuk menciptakan harmoni baru yang lebih relevan dengan selera masa kini. Fenomena ini menunjukkan upaya kreatif masyarakat untuk tetap mempertahankan budaya lokal, tetapi ada risiko nilai-nilai asli dari budaya tersebut semakin terkikis.

Daging Rendang dengan Keju sebagai Bentuk Inkulturasi
Daging Rendang dengan Keju sebagai Bentuk Inkulturasi
Berbagai macam opini pasti setuju bahwa fenomena ini bukan sesuatu yang harus dilihat secara hitam putih. Fusion culture tidak selalu berarti kehilangan budaya, tetapi juga merupakan peluang untuk menciptakan identitas budaya baru yang lebih relevan dengan zaman. Namun, proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan esensi budaya asli. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas lokal harus mengambil peran aktif dalam melestarikan budaya tradisional. Pendidikan formal dan informal harus memasukkan unsur budaya lokal sebagai bagian dari kurikulum. Media sosial, yang sering dianggap sebagai ancaman, malah dapat digunakan untuk mempromosikan seni dan tradisi lokal kepada generasi muda dengan cara yang menarik.

"Budaya tidak pernah berakhir, selalu ada yang baru. Selalu ada bentuk kesenian yang baru, gerak tari, lagu, lukisan. Budaya adalah kisah tanpa akhir..."

--- Maisie Junardy

Kehilangan budaya tradisional Indonesia dapat diibaratkan seperti sebuah sungai yang perlahan berubah arah. Awalnya, sungai ini jernih dan membawa kehidupan bagi daerah sekitarnya. Namun, arus deras modernisasi membawa berbagai material asing yang mencemari kejernihan sungai tersebut. Fusion culture adalah semacam bendungan yang berusaha mengalihkan sebagian aliran sungai ke arah yang lebih sesuai dengan zaman, tetapi jika tidak hati-hati, bendungan ini bisa menyebabkan banjir yang menghancurkan identitas asli sungai itu sendiri.


Indonesia adalah negeri yang bagaikan permata dengan banyak sisi. Setiap sisi mencerminkan keindahan budaya yang luar biasa. Di Sumatra, kita memiliki rumah gadang Minangkabau dengan atapnya yang melengkung seperti tanduk kerbau, mencerminkan falsafah adat "alam takambang jadi guru." Di Papua, tarian tradisional seperti Tari Perang menunjukkan keberanian dan solidaritas masyarakat setempat. Sementara di Jawa, batik menjadi lambang kreativitas dan ekspresi seni yang telah diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Namun, kini keberagaman itu terancam. Budaya tradisional yang dulunya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kini lebih banyak ditampilkan dalam festival atau pameran, kehilangan konteks sosialnya. Tradisi yang dulunya hidup kini menjadi artefak sejarah yang hanya dikenang, bukan dijalani.

Sejumlah warga menampilkan tarian adat Papua sambil memukul tifa
Sejumlah warga menampilkan tarian adat Papua sambil memukul tifa

Dalam era globalisasi, kita tidak dapat menghindari interaksi budaya yang melahirkan fusion culture. Namun, tanggung jawab kita sebagai bangsa adalah menjaga agar interaksi ini tidak mengikis jati diri kita. Maka dari itu, budaya Indonesia harus terus berkembang tanpa kehilangan akarnya sehingga generasi mendatang tetap dapat bangga dengan warisan nenek moyang mereka. Sebab tanpa identitas budaya, kita hanya akan menjadi penonton dalam arus globalisasi, bukan pemain utama yang memperkenalkan keunikan kita kepada dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun