Mohon tunggu...
Benhard Masalle Bua
Benhard Masalle Bua Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional - UPN "Veteran" Yogyakarta

#upnyk2021 #hiasteng2023 #kompasiana2023 #PLNIndo2023

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontribusi ASEAN di Era Kepemimpinan Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Antara Moro National Liberation Front (MNLF) dan Pemerintah Filipina

4 Desember 2024   14:09 Diperbarui: 4 Desember 2024   15:59 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal mula terjadinya konflik yang melibatkan Moro National Liberation Front (MNLF) dan Pemerintah Filipina karena adanya ketidakadilan dan marginalisasi yang diterima oleh Bangsa Moro yang merupakan masyarakat Muslim yang tinggal di wilayah Filipina Selatan. Melihat dari sejarah yang ada, ketidakadilan yang dirasakan oleh Bangsa Moro telah berlangsung pada tahun 1946 ketika Filipina merdeka. Sebagai masyarakat minoritas yang memeluk agama islam, Bangsa Moro tidak merasakan adanya upaya dari pihak Pemerintah Filipina sejak kemerdekaan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat Muslim di Filipina. Kesenjangan sosial semakin dirasakan oleh masyarakat Muslim ketika terjadinya proses kristenisasi yang dilakukan pada tahun 1946 setelah Amerika Serikat memberikan kemerdekaan kepada Filipina.

Marginalisasi melalui proses kristenisasi yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kepada masyarakat muslim di Filipina Selatan menjadi pemicu perlawanan. Yang kemudian pada tahun 1968 terjadi pembantaian di Pulau Corregidor terhadap anak-anak muda Muslim yang dikenal dengan nama tragedi Jabidah. Tragedi Jabidah yang terjadi menjadi pendorong bagi salah satu tokoh utama dalam politik Islam Filipina yaitu Nur Misuari untuk membela masyarakat muslim di Filipina. Nur Misuari kemudian membentuk organisasi Moro National Liberation Front (MNLF) pada tahun 1971.

Setelah resmi berdirinya MNLF, Presiden Ferdinand Marcos yang saat itu menjabat kemudian menanggapi aksi perlawanan MNLF dan berbagai aksi perlawanan lainnya dari masyarakat muslim di Mindanao sebagai bentuk pemberontakkan. Hal ini membuat keluarnya keputusan untuk menyatakan keadaan darurat perang dan memberlakukan Martial Law pada tahun 1972. Presiden Ferdinand Marcos kemudian mengirimkan tentara secara masif ke Mindanao untuk melawan gerakan pemberontakan yang kian membesar. Namun, langkah yang diambil oleh Presiden Ferdinand Marcos semakin menguatkan dukungan Bangsa Moro untuk MNLF.

Pengiriman tentara dan kekerasan yang terjadi kemudian dipandang sebagai wujud genosida oleh Nur Misuari, adanya pembantaian oleh tentara Ilaga Kristen terhadap masyarakat muslim menjadi salah satu penguat bahwa telah terjadi genosida yang dilakukan oleh aparat. MNLF kemudian meningkatkan gerakan perlawanan secara tidak langsung, namun dengan memberikan dukungan pada gerakan-gerakan dari kelompok militan masyarakat muslim. Meningkatnya korban jiwa dari pihak masyarakat muslim Filipina kemudian menarik perhatian dari Libya, Arab Saudi, Yordania, Malaysia, dan Indonesia yang merupakan negara anggota dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Melalui Libya, OKI kemudian melahirkan suatu perjanjian yang berisi upaya dalam mencapai perdamaian antara pemerintah Filipina dan MNLF yang dikenal dengan Perjanjian Tripoli.

Akan tetapi pada proses pemberlakuan Perjanjian Tripoli, Pemerintah Filipina berusaha untuk menghindari isi dari kesepakatan dan mulai meningkatkan kegiatan sabotase terhadap pasukan muslim. Hal ini kemudian memicu rasa kecewa dari MNLF terhadap pemerintah Filipina karena tidak melaksanakan isi dari perjanjian tersebut. Sebaliknya Pemerintah Filipina melakukan berbagai untuk menghancurkan MNLF melalui upaya propaganda. Sehingga dalam upaya untuk mencapai perdamaian, perjanjian yang telah dibuat dianggap gagal karena hanya diakui oleh salah satu pihak. Selain itu, kurangnya pengawasan terhadap perjanjian ini membuat implementasinya menjadi kurang efektif, karena tidak adanya kebulatan suara untuk mewujudkan perdamaian bersama.

Sebagai respon dari konflik yang terus berlanjut, Indonesia yang merupakan salah satu negara anggota ASEAN dan ketua ASEAN pada tahun 1996 mulai berkontribusi pada upaya resolusi konflik tersebut. Kontribusi Indonesia telah dimulai sejak tahun 1993, dimana Indonesia dipercaya oleh Pemerintah Filipina dan dan MNLF sebagai mediator untuk meredakan konflik yang terjadi. Pada pertemuan ini, mediasi yang dilakukan berfokus pada penguatan Perjanjian Tripoli, dengan hasil bahwa MNLF akan menerima hak-hak otonomi yang diberikan oleh Pemerintah Filipina, sebagai upaya untuk mengurangi keinginan dari MNLF untuk melepaskan diri dari Pemerintahan Filipina.

Keterlibatan Indonesia sebagai mediator tidak lepas dari mandat yang diberikan melalui pertemuan Cipanas pada 14-16 April 1993. Kala itu sebagai upaya untuk meredakan konflik, Indonesia menerapkan beberapa strategi mediasi dengan memfasilitasi 4 kali pertemuan resmi, 10 kali pertemuan dengan pembahasan pada tingkat komite gabungan, serta 77 kali pertemuan pada pembahasan di ranah teknis. Pada pertemuan komite gabungan pada Desember 1993 yang bertempat di Kota Jolo, dihasilkan beberapa kesepakatan salah satunya adalah gencatan senjata yang harus dilakukan oleh Pemerintah Filipina dan juga MNLF. Selain itu, Indonesia akan mengirimkan Kontingen Garuda sebagai pasukan pemeliharaan perdamaian.

Pada 2 September 1996, Indonesia yang saat itu menjadi ketua ASEAN kemudian mengakomodasi proses penandatanganan perjanjian damai. Dari pertemuan ini ada beberapa poin yang menjadi hasil kesepakatan kedua belah pihak yaitu (1) proses penggabungan MNLF ke tentara Filipina, (2) Pembentukan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM), serta proses diskusi terkait (3) pembagian sumber daya alam.

Semua proses yang dilewati dalam menyelesaikan konflik melalui proses formal berupa mediasi. Indonesia yang ditunjuk oleh OKI dan sebagai ketua ASEAN mengambil jalur-jalur damai dalam menyelesaikan konflik. Dengan adanya kontribusi dari Indonesia sebagai ketua ASEAN, menunjukan bahwa adanya perubahan signifikan dalam metode penyelesaian sengketa oleh ASEAN. Dengan berlandaskan pada ASEAN Way dengan prinsip non intervensi ASEAN menghadirkan strategi-strategi penyelesaian konflik secara damai.

Indonesia yang berperan sebagai mediator telah memfasilitasi pertemuan-pertemuan untuk mempertemukan kedua belah pihak melalui pertemuan resmi, pembahasan pada tingkat komite gabungan serta pertemuan untuk membahas pada ranah teknis. Dengan adanya kontribusi Indonesia sebagai ketua ASEAN dalam menyelesaikan konflik antara Filipina dan MNLF, memberikan dampak positif pada mekanisme penyelesaian konflik ASEAN yang kini dapat melalui cara-cara damai dan membawa kestabilan pada regional ASEAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun