"Lihatlah aku," kata KUHP dengan penuh rasa bangga. "Aku sudah diperbarui, aku
sudah move on dari masa lalu, sekarang aku mencerminkan perkembangan zaman, kebutuhan hukum masyarakat Indonesia kini tercermin oleh ku." KUHAP menjawab "Memang benar kamu sudah diperbarui, tapi bagaimana denganku? Aku masih terjebak dalam kaidah-kaidah jadul, belum ada perubahanku yang setara denganmu." Dialog singkat ini mencerminkan
kesetimpangan antara pembaruan dalam KUHP dan ketertinggalan KUHAP, hal ini
menandai bahwa dibutuhkan reformasi agar sistem hukum pidana Indonesia harmonis dan efektif dalam implementasinya.Â
Perkembangan dinamika sosial dan hukum di Indonesia menimbulkan perdebatan mengenai ketidaksesuaian antara KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang baru dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang masih berlaku saat ini. KUHAP lama yang tetap bertahan hingga kini, menjadi jurang
pemisah antara norma hukum prosedural dan substansial. Jurang pemisah ini dapat menjadi tantangan dalam implementasi hukum. Aparat penegak hukum harus menghadapi tantangan dalam menerapkan norma-norma baru dalam KUHP yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan prosedur dalam KUHAP. Hal ini dapat memicu terjadinya perlakuan yang tidak
konsisten terhadap pelaku kejahatan dan dapat menurunkan kualitas keadilan.
Demikian pula yang terjadi pada kasus Nenek Minah pada tahun 2009. Nenek Minah warga Banyumas, Jawa Tengah yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA) tempat ia bekerja. Kasus ini berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Nenek Minah dalam persidangan itu didakwa melakukan pencurian yang dikenai Pasal 362 KUHP terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga
Rp 2.000 per kilogram. Saat itu, Majelis Hakim PN Purwokerto memutuskan bahwa Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan.Â
Mengapa kasus yang sangat ringan ini memaksa seorang wanita tua untuk diproses secara hukum? Namun mengapa kasus-kasus lain yang menimbulkan kerugian yang sangat besar justru tidak terjamah oleh hukum? Seperti kasus korupsi yang tidak terungkap, bahkan dijatuhi hukuman
ringan. Di sisi lain, kasus yang secara kerugian termasuk sangat rendah, tetapi harus sampai diproses di pengadilan seperti kasus Nenek Minah. Namun, apa yang dilakukan oleh penegak hukum bukanlah hal yang menyalahi aturan, karena di Indonesia menerapkan pendekatan hukum normatif yang menghasilkan keadilan prosedural yang hanya melihat keadilan sebagai hal yang harus dipenuhi. Juga, pada hakikatnya mereka menjalankan sesuai dengan
norma, dimana perbuatan Nenek Minah terlepas dari rendahnya kerugian yang ditimbulkan tetap mengambil milik orang lain.Â
Perbuatan yang dilakukan Nenek Minah tetaplah melanggar hukum. Kendati demikian, hukuman yang diberikan seringkali dirasa tidak sesuai. Mengapa? Karena seharusnya, hukum tidak hanya melihat dari sudut pandang normatif,
tetapi juga harus melihat apa dampaknya terhadap masyarakat. Tujuan hukum itu sendiri adalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dalam urgensi untuk mengatasi ketidaksesuaian antara KUHP yang baru dengan KUHAP lama yang masih berlaku serta meningkatkan kualitas keadilan dalam peradilan pidana, maka penting menerapkan pendekatan keadilan substantif yang bukan hanya menekankan penilaian yang adil, namun juga memberikan hukuman kepada yang layak
menerimanya. Dengan demikian, pembaharuan KUHAP merupakan suatu  langkah yang tepat dalam mengatasi dan merupakan sebuah solusi dalam kesetimpangan antara KUHAP lama yang sudah tidak sejalan dengan dinamika masyarakat Indonesia saat ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H