Indonesia ialah salah satu negara di dunia yang memiliki pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan ini ditujukan bagi rakyat Indonesia sendiri, supaya lebih mengenal, mencintai tanah air, dan juga mengamalkan kelima dasar negara kita yakni Pancasila. Nah, dalam pendidikan kewarganegaraan terdapat sebuah topik yang esensial dan selalu diajarkan kepada kita; yakni kewarganegaraan itu sendiri. Kita tahu bahwa kewarganegaraan adalah pedoman bagi suatu negara untuk menentukan rakyat atau orang-orang yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan yang hendak dipergunakannya. Namun, terkadang kita masih meragukan banyaknya pilihan kewarganegaraan yang ada, dan sulit untuk menentukan mau menjadi warga negara mana setelah kita dewasa nanti. Berikut ialah penjelasan saya mengenai contoh-contoh kewarganegaraan dan permasalahannya.Â
Jadi, di negara kita asas kewarganegaraan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yakni; asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, dan asas ius soli (law of the soil) terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak. Terdapat pula dua asas yang tidak kalah pentingnya, yakni asas kewarganegaraan tunggal yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang, dan asas kewarganegaraan ganda terbatas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Selain asas-asas tersebut dalam menentukan kewarganegaraan, terdapat pula dua stelsel (sistem) kewarganegaraan, yaitu stelsel aktif dan stelsel pasif. Mari kita bahas kedua stelsel tersebut. Nah, jika kita melihat stelsel aktif, itu berarti seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warga negara. Sedangkan, menurut stelsel pasif, orang dengan sendirinya dianggap menjadi warga negara tanpa harus melakukan suatu tindakan hukum tertentu. Berhubungan dengan kedua stelsel tersebut, seseorang akan diberikan dua hak yaitu hak opsi atau hak untuk memilih suatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif), dan hak repudiasi atau hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).
Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai dengan asas yang dianut negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan ini, pada dasarnya suatu negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan. Negara lain juga tidak boleh menentukan siapa saja yang menjadi warga negara dari suatu negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa asas yang digunakan oleh suatu negara dalam menentukan kewarganegaraannya berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan dalam menentukan kewarganegaraan di suatu negara tersebut dapat menimbulkan dua kemungkinan status terhadap seseorang, yakni ; apatride, istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan bipatride, istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda. Dua kemungkinan status seseorang tersebut merupakan problem kewarganegaraan Indonesia. Oleh karena itu, pada dasarnya dalam undang-undang kewarganegaraan tadi tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Akan tetapi, masih ada juga warga yang terjerat kasus yang menyangkut kewarganegaraan ganda. Di Indonesia, hal tersebut pernah beberapa kali terjadi pada rakyat, atau bahkan pejabat negara.
Salah satu kasus yang berkaitan dengan masalah tersebut yang pernah menjadi buah bibir masyarakat beberapa tahun silam adalah kasus Gloria Natapradja, salah seorang anggota Paskibraka yang bertugas untuk mengibarkan bendera pada saat upacara peringatan HUT RI ke-71 di Istana Negara pada 17 Agustus 2016. Setelah cukup lama menempuh seleksi dan latihan, Gloria digugurkan dari formasi tepat dua hari sebelum upacara berlangsung. Hal itu terjadi karena belakangan diketahui Gloria memiliki paspor Perancis. Gloria memang dilahirkan dari pasangan berbeda kewarganegaraan. Ibunya adalah WNI dan ayahnya warga negara Perancis. Kita tahu bahwa anak yang lahir dari perkawinan berbeda kewarganegaraan bisa mempunyai kewarganegaraan ganda, namun harus memilih salah satu kewarganegaraannya saat telah berusia 18 tahun. Dalam kasus Gloria, pihak keluarga menganggap Gloria mempunyai hak selayaknya Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia. Dalam hal ini hak untuk menjadi pasukan Paskibraka, karena ia belum menginjak 18 tahun maka ia otomatis mempunyai dua kewarganegaraan. Tetapi hukum berkata sebaliknya. Gloria lahir pada saat undang-undang tentang kewarganegaraan tersebut disahkan. Sehingga, Gloria tidak bisa otomatis mendapat kewarganegaraan ganda.
Tak hanya anak di bawah 18 tahun, ternyata di Indonesia pernah terdapat pula pejabat penting yang terkena kasus ini, yakni Archandra Tahar. Beliau adalah salah seorang pejabat tinggi negara yang dilantik dengan jabatan Menteri ESDM pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Kurang dari sebulan setelah pelantikannya pada Juli 2016, muncul dugaan bahwa Archandra memiliki kewarganegaraan ganda. Hal itu terbukti dengan kepemilikan paspor Amerika Serikat. Sebelum menjadi menteri, Archandra memang menempuh pendidikan dan bekerja di Amerika Serikat. Akan tetapi, beliau lahir dan besar di Indonesia. Nah, hukum Indonesia tidak mengakui kewarganegaraan ganda untuk warga negara di atas 18 tahun dengan kondisi apapun. Kasus tersebut membuat Archandra diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri ESDM. Selain itu, beliau juga terancam kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Namun, sebelum dilantik menjadi menteri, beliau telah mengajukan permohonan kehilangan kewarganegaraan pada Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Permohonan tersebut disetujui tepat setelah jabatannya sebagai menteri dilepaskan. Alhasil beliau berhasil mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya. Setelah semua kasus kewarganegaraan ganda tersebut selesai, Archandra Tahar diangkat menjadi Wakil Menteri ESDM pada 14 Oktober 2016.
Pemberitaan terkait dua status kewarganegaraan ganda memunculkan perdebatan tetang kewarganegaraan ganda bagi warga Indonesia. Dilansir dari bbc.com, Dewi Tjakrawinata, salah satu koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa, kelompok yang turut mengadvokasi dwikewarganegaraan terbatas untuk anak usia di bawah 18 tahun, menyatakan bahwa pemberlakuan kewarganegaraan ganda bisa memberikan manfaat perlindungan buat warga negara Indonesia. "Coba, kawan-kawan buruh migran, TKI, yang mengirimkan devisa, tapi mereka terseok-seok di negara lain dengan mendapat perlakuan tidak adil karena mereka bukan warga negara setempat. Jadi haknya dia sebagai pekerja segala macam, lebih sedikit dibandingkan kalau dia warga negara dari negara itu."
Namun, pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyebut ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan jika Indonesia ingin menerapkan dwi kewarganegaraan. "Dwi kewarganegaraan ini sering dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang melakukan kejahatan, penghindaran pajak. Yang perlu juga dipikirkan oleh pemerintah, apakah ketika seorang yang nantinya punya dwi kewarganegaraan itu, akan dilindungi oleh pemerintah?" Menurut beliau , ketika seorang WNA dengan dwi kewarganegaraan dan berasal dari Indonesia, maka bantuan bisa diberikan, namun ketika orang asing yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Indonesia tapi memiliki status WNI, beliau menambahkan sebuah pertanyaan " Apakah pemerintah terseret dengan perlindungan yang membutuhkan biaya, energi, dan sebagainya?" Meski begitu, terkait dorongan ekonomi, menurut beliau tanpa status kewarganegaraan pun, Indonesia masih bisa memberikan kemudahan bagi keturunan Indonesia yang memegang kewarganegaraan asing dan ingin memberi kontribusi ekonomi, seperti kemudahan memberi visa kunjungan atau izin kerja maupun kemudahan proses naturalisasi.
Nah, dari sekian yang telah saya paparkan, saya mencoba untuk menuturkan kepada para pembaca supaya lebih memahami tentang jenis kewarganegaraan, dan kilas hukumnya di Indonesia. Masalah kewarganegaraan ganda tidak bisa kita lewati saja secara sepele, tanpa memperhatikan pandangan-pandangan positif dari orang-orang. Hukum mengenai kewarganegaraan di Indonesia begitu ketat, namun memang ada baiknya sebagai perlindungan khususnya bagi WNI. Dan dari hukum tersebut, jika kita membacanya secara lebih mendalam, kita juga bisa mengetahui prosedur bagaimana seseorang itu mendapatkan kewarganegaraannya secara resmi dari pemerintah, atau malah kehilangan kewarganegaraannya sendiri karena problematika tertentu, seperti yang telah dipaparkan pada berita di atas. Sekian dari saya, semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan kritik serta saran pembaca pun saya harapkan. Terima kasih.
Sumber: