Mohon tunggu...
Benediktus Catur Sakti
Benediktus Catur Sakti Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seminaris Tingkat I Seminari Mertoyudan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengalaman Menjadi Seminaris Tingkat I

26 September 2024   12:08 Diperbarui: 26 September 2024   12:13 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Salam Sejahtera untuk kita semua. Perkenalkan saya Benediktus Catur Sakti, saya berasal dari Sulawesi Tenggara. Pada kesempatan kali ini, saya akan bercerita sedikit tentang pengalaman saya selama menjadi seorang seminaris. Namun sebelum itu, perlu diketahui apa yang menjadi latarbelakang saya, mengapa saya memilih untuk masuk ke seminari. Motivasi saya untuk masuk seminari ini adalah untuk menjadi imam, saya ingin melayani Tuhan dan sesama dengan segala hal yang saya miliki; segala kekurangan dan kelebihan saya.

Pengalaman saya pertama kali datang ke Seminari ialah pada saat saya mengikuti Tes PPDB, yang berlangsung pada tanggal 16 November sampai dengan tanggal 19 November 2023; berlangsung selama tiga hari dan dua malam. Adapun tes yang saya ikuti ialah tes tertulis, tes inteligensi dan wawancara, serta tes fisik. Dan pada tanggal 30 November 2023, syukur kepada Tuhan, saya dinyatakan lulus dalam tes gelombang I.

Kemudian pada tanggal 21 Juli 2024, saya pun datang kembali ke Seminari untuk memasuki tahun ajaran 2024/2025. Disinilah perjalanan saya sebagai seorang seminaris di mulai. Pada hari pertama masuk, saya harus berpisah dengan kedua orangtua; rasanya berat sekali harus jauh dari orangtua. Tetapi di sisi lain, saya juga senang karena bisa berkenalan dengan banyak teman baru yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda.

Selama menjalani hidup sebagai seminaris, ada begitu banyak suka duka yang aku alami. Tantangan yang saya alami ialah harus menyesuaikan diri dengan habitus (kebiasaan) baru, yang rasanya seperti hal baru bagi saya. Selama empat puluh hari pertama, pemakaian internet belum diperkenankan, dan karenanya sangat sulit untuk berkomunkasi dengan orangtua, keluarga dari jauh, dan penggunaan komputer pun masih belum diperbolehkan.

Selama empat puluh hari pertama itu pula, ada begitu banyak pengalaman yang saya alami. Ada pengalaman yang baik, ada juga pengalaman pengalaman yang kurang berkenan di hati saya. Namun dari situlah aku belajar untuk bangkit, belajar untuk membangun diri menjadi pribadi yang lebih tangguh dan berani. Memang ada banyak kesalahan saya lakukan, namun dari kesalahan itu saya belajar untuk bangkit dan memperbaiki diri saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

"Kita belajar untuk kehidupan, bukan untuk nilai", itulah yang menjadi semangat dan motivasi saya dalam menjalani proses formasi di Seminari ini. Pengalaman buruk bukanlah sebuah trauma yang harus di hempaskan, sebaliknya dari pengalaman itu kita belajar untuk bangkit dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Melakukan kesalahan itu wajar, tak ada manusia yang sempurna, yang salah adalah ketika kita mengulangi kesalahan itu lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun