Sekolah Menengah Agama Katolik [SMAK] adalah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia. Dalam visinya, Sekolah Menengah Agama Katolik yang bertujuan untuk mendidik warga negara yang beragama Katolik agar berakhlak, beriman, dan memiliki kompetensi yang baik dalam bidang keagamaan Katolik. Peserta didik akan diberikan berbagai macam pengetahuan keagamaan secara intensif yang meliputi: Kitab Suci, Doktrin dan Mora Katolik, Liturgi, Sejarah Gereja dan Pastoral Katekese. Setiap mata pelajaran diberikan alokasi waktu 2 jam per minggu. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup secara kognitif, afektif, psikomotor dan metakognitif dalam bidang keagamaan Katolik. Output yang diperoleh, diharapkan dapat menjadi rasul awam, pemuka umat, promotor kegiatan kerohanian, dan mewariskan iman serta tradisi Gereja Katolik secara baik.
Selain pengetahuan dan keterampilan keagamaan, satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan adalah aspek pembinaan karakter. Sekolah Menengah Agama Katolik harus memiliki peran dan posisi teratas dalam menanam nilai-nilai. Sebab, peserta didik pada waktunya akan menjadi pendamping umat. Peserta didik dituntut untuk memiliki karakter dan perilaku yang baik, sehingga dapat menjadi teladan bagi umat yang didampinginya. Dalam berbagai teori pendidikan, dinyatakan bahwa karakter memberikan 80 % pengaruh terhadap diri seseorang ketimbang aspek kecerdasan intelektual yang memberikan pengaruh sebanyak 20% saja. Oleh karena itu, sekolah menengah agama Katolik tidak hanya menyiapkan peserta didik untuk cerdas secara kognitif saja, tetapi harus mendidik peserta didik untuk cerdas secara emosional, afektif dan memiliki karakter yang baik. Â
Dalam manajemen pembelajaran, pendidikan karakter dapat dikaitkan dengan aspek pengembangan afeksi murid di dalam kelas. Proses dan penilaian afektif membantu murid untuk mengolah diri, mengolah emosi, dan menyusun sebuah struktur mental atas nilai-nilai yang hendak ditanamkan sesuai dengan mata pelajaran yang disajikan oleh pendidik agar tidak terjadi krisis watak atau krisis mental yang merusak tatanan hidup bersama. Supelli sebagaimana dikutip oleh Hendarman [2019] menyatakan bahwa pendidikan melalui sekolah merupakan salah satu locus untuk mengatasi krisis watak secara cepat. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan harus mengarah pada pembentukan etos warga negara [citizenship]. Dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan berjudul Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI diuraikan empat aspek yang harus dikerjakan dalam rangka membentuk watak, yaitu: perhatian pada aspek emosional peserta didik, pengembangan life skills, menumbuhkan kemauan [will], dan pembiasaan [habit-habituasi]. Â
Proses untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut tidak hanya terjadi di kelas. Tetapi harus juga didukung oleh lingkungan dan komunitas di mana seseorang bertumbuh. Philips [2000] dalam artikelnya yang berjudul Family as the School of Love sebagaimana dikutip oleh Hendarman menegaskan "if there is righteousness in the heart, there will be beauty in character, if there is beauty in the character, there will be a harmony, if there is a harmony in the home, there will be order in the nation, if there is order in the nation, there will be peace in the world." Jika diterjemahkan secara sederhana, karakter memiliki pengaruh yang kuat untuk hidup bersama. Semua komponen harus menjalin hubungan kerja sama yang erat dalam hal pendidikan karakter mulai dari keluarga agar kedamaian dirasakan semua orang. Oleh karena itu, pendidikan karakter sangat diperlukan tidak hanya untuk perkembangan pribadi dan keluarga saja, tetapi juga untuk membentuk watak dan etos warga negara serta pada akhirnya tercipta kedamaian bersama.
Untuk menopang tujuan tersebut, Program Penguatan Pendidikan Karakter [PPK] dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2017 merupakan daya upaya pemerintah untuk membentuk karakter warga negara. Di sana diperlihatkan tiga [3] basis utama pendidikan karakter, yaitu: berbasis kelas, sekolah, dan komunitas. Komalasari dan Saripudin [2017] dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter:Konsep dan Aplikasi Living Values menguraikan secara lebih jelas ketiga basis pendidikan karakter tersebut.
- Pendidikan karakter berbasis kelas. Pendidikan karakter berbasis kelas dilakukan di dalam proses pembelajaran. Penguatan pendidikan karakter di dalam kelas dapat diatur dengan cara berikut: pertama, mengorganisasikan sebuah pembelajaran tematis. Pembelajaran tematis diatur dengan cara menyiapkan alokasi waktu khusus kepada pendidik untuk memberikan penguatan kepada peserta didik tentang nilai-nilai tertentu. Namun, model pembelajaran seperti ini akan memberikan kesan seolah-olah hanya guru tersebut yang menjadi pendidik karakter peserta didik [bdk. Koesoema A., 2019] . Kedua, mengorganisasikan pembelajaran non-tematis. Pendidikan karakter dilakukan pada setiap proses pembelajaran tanpa harus menyiapkan alokasi waktu khusus. Pendidik tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga sekaligus dapat menjadi pembimbing karakter peserta didik. Maka, pendidik harus mampu mengorganisasikan kelas sedemikian rupa agar pendidikan karakter dapat dijalankan. Model ini cukup baik untuk menguatkan pendidikan karakter, tetapi harus disiapkan minimal sebuah modul atau pedoman agar para pendidik memiliki arah pendidikan karakter yang kurang lebih sama. Selain itu, pendidik harus juga disiapkan. Pendidik harus dibekali dengan berbagai metode pembelajaran, memiliki mindset yang benar dan selaras dengan perkembangan peserta didik serta lingkungannya, sehingga pola-pola lama yang kurang relevan dalam proses pembelajaran berbasis karakter dapat ditinggalkan. Ketiga, aktivitas non-instruksional dapat dikembangkan oleh masing-masing pendidik. Hal ini ada kaitannya dengan kepekaaan guru dalam melihat situasi atau kondisi kelas. Sebagai contoh, ketika murid membuang sampah sembarang pada saat pembelajaran berlangsung, guru wajib memberikan arahan kepada murid tentang baik dan tidaknya perbuatan seperti itu.
- Pendidikan karakter berbasis budaya sekolah. Hal ini kelihatannya sangat penting. Sekolah sebagai lembaga atau institusi memiliki tanggung jawab bersama untuk mendidik karakter peserta didik. Pengelolaan pendidikan karakter yang dilakukan secara bersama oleh seluruh entitas pendidikan di sekolah akan membentuk budaya sekolah. Budaya sekolah tidak dapat dipahami hanya sebagai pembiasaan semata. Budaya sekolah berarti nilai-nilai telah terinternalisasi secara dalam diri seluruh warga sekolah secara konsisten. Karakter telah membudaya, menjadi bagian hidup dan komitmen dari seluruh warga sekolah. Untuk membentuk budaya sekolah, tentu diawali dengan pembiasaan-pembiasan sederhana setiap hari melalui kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, intrakurikuler, ekstrakurikuler, pengembangan tata kelola atau manajemen sekolah yang menopang penguatan pendidikan karakter dalam bentuk tata tertib, kesepakatan kelas, komitmen kelas, serta kemampuan dan kerelaan para pendidik dan tenaga pendidikan untuk menjadi role model  pendidikan karakter. Karena itu, tidak dapat dibayangkan jika guru menegur dengan keras peserta didik yang merokok, sementara pendidik dan tenaga pendidikan dapat merokok dengan bebas di lingkungan sekolah dan disaksikan oleh peserta didik. Pendidikan karakter yang membudaya membutuhkan komitmen, konsistensi, dan koherensi dalam pelaksanaannya.
- Pendidikan karakter berbasis komunitas. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan sekolah. Sekolah perlu membangun jaringan [link] yang lebih luas dengan stakeholder yang mendukung program penguatan pendidikan karakter. Mitra kerja sekolah yang paling utama dalam hal ini adalah orang tua dan juga perkumpulan orang tua peserta didik yang disebut komite sekolah. Orang tua memiliki peran utama dalam proses penguatan pendidikan karakter baik di rumah maupun juga di sekolah. Selain orang tua, komite sekolah berperan dalam merumuskan kesepakatan dan komitmen bersama yang menopang pendidikan karakter. Selain itu, sekolah dapat membangun kerja sama dengan sekolah mitra, universitas dan lembaga lainnya yang memiliki kompetensi tertentu untuk mendukung pendidikan karakter. Sebagai contoh, sekolah dapat bekerja sama dengan universitas yang memiliki fakultas psikologi atau lembaga layanan psikologi. Sekolah mendapat manfaat dari perguruan tinggi tertentu, misalnya dengan mengundang dosen menjadi pembimbing workshop guru. Pada beberapa sekolah menengah di pulau Jawa, universitas bekerja sama dengan sekolah dengan cara membiayai semua kegiatan kesiswaan termasuk memberikan reward kepada peserta didik yang memiliki karakter baik dalam bentuk piala, plakat, sertifikat, piagam penghargaan, dan juga uang pembinaan. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong program penguatan pendidikan karakter di sekolah.
Sekolah Menengah Agama Katolik sebagai sebuah lembaga pendidikan Katolik memilik tugas dan kewajiban yang sama dengan lembaga pendidikan lain untuk mendidik dan membina karakter warga sekolah agar dapat menjadi warga negara yang baik dan juga warga gereja yang beriman. Sebagai sebuah lembaga keagamaan pendidikan yang relatif baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, Sekolah Menengah Agama Katolik perlu mendesain langkah-langkah untuk mengembangkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan masing-masing. Koesoema A. [2022] dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah menawarkan beberapa langkah yang dapat dikerjakan untuk mendesain pendidikan karakter berbasis sekolah.
Pertama, menentukan tujuan. Penting untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Norma, aturan, dan regulasi apa pun yang hendak digunakan harus memiliki tujuan tertentu. Tujuan yang jelas dan terukur akan membantu para pihak di dalam lembaga pendidikan untuk menentukan sarana, alat, dan bahan yang harus disiapkan agar tujuan tersebut semakin efektif.
Kedua, menentukan prioritas nilai. Sekolah perlu menetapkan prioritas nilai yang hendak ditanamkan dalam diri warga sekolah. Nilai tersebut harus digali secara bersama-sama, berangkat dari konteks dan kebutuhan warga sekolah, sehingga nilai tersebut memiliki makna yang sama bagi seluruh warga sekolah.
Ketiga, Â koherensi. Produk aturan, norma dan berbagai kebijakan yang dihasilkan di sekolah harus memiliki koherensi satu sama lain dan mengikat setiap individu. Keterkaitan antar aturan, norma dan regulasi akan meningkatkan efektivitas penghayatan nilai-nilai pembentuk karakter.
Keempat, konsistensi. Koherensi harus diimbangi dengan konsistensi dalam menjalankan aturan, norma, dan regulasi yang ada pada setiap lembaga pendidikan. Konsistensi pelaksanaan akan muncul jika semua pihak yang berkepentingan terlibat secara aktif dalam menyusun dan kemudian melaksanakan berbagai program pendidikan karakter.
Kelima, evaluasi. Harus ada kesepakatan bersama tentang indikator-indikator yang digunakan untuk mengevaluasi berbagai produk kebijakan pendidikan karakter. Evaluasi sangat dibutuhkan karena koreksi atas program yang telah berjalan akan membantu lembaga untuk mendesain regulasi baru yang lebih sesuai dengan konteks.