Â
   "Derita akan berhenti menjadi derita, jika kita menemukan makna kehidupan"
Inilah salah satu kalimat terkenal dari psikolog humanis, Victor Frankl. Bagi anda yang belum tahu siap Victor Frankl, dia adalah salah satu tahanan Kamp Konsentrasi Nazi di Jerman. Selama empat tahun dalam Kamp, Frankl menyaksikan satu persatu orang yang disayangi meninggal. Istrinya meninggal karena penyakit tifus, saudari dan ibunya meninggal karena kelaparan sedang ayahnya mati karena dibunuh. Lebih parahnya lagi, kematian itu disaksikannya sendiri.
Sebagai manusia, Frankl mengalami penderitaan yang luar biasa. Mereka disiksa, dilecehkan, disuruh kerja paksa, dan banyak yang terbunuh. Tapi, bagimana ia bisa bertahan? Ternyata rahasianya ialah "terapi memaknai hidup atau logoteraphi." Selamat bertahun-tahun kerja paksa di kamp, Frankl berjuang memaknai hidupnya. Perjuangannya ditulis dalam bukunya "Yes to Life dan Men's Search for Meaning". Buku ini sangat menginspirasi, sebab dari buku itu  lahirlah psikologi humanis yang menekankan bahwa setiap orang bisa melampaui situasi di sekitarnya.
Bagaimana caranya? Ada lima cara yang harus ditempuh. Pertama, apapun situasinya, kita bisa memilih untuk bersikap seperti apa. Frankl mengingatkan bahwa kita harus optimis. Badai apapun pasti berlalu. Jangan menyerah lalu putus asa terhadap situasi sulit. Ketika orang di sekitarnya memilih mengakhiri hidup karena tekanan dan situasi yang sangat sulit di kamp, Frankl justru memilih optimis bahwa ia akan tetap hidup. Optimisme itu terbukti karena Frankl baru meninggal di usia 92 tahun.
Kedua, penderitaan itu ada, bukan tentang penderitaan, tetapi bagaimana kita bereaksi terhadap penderitaan. Dalam ajaran Budha dijelaskan bahwa hidup itu adalah samsara atau penderitaan. Dalam kristianitas juga diajarkan bahwa menghadapi penderitaan adalah bentuk penghayatan iman. Frankl dalam psikologi humanisnya mengingatkan kita tentang cara kita bereaksi terhadap penderitaan itu yang perlu diubah, bukan berusaha menghilangkan penderitaan. Cara yang paling tepat bagi Frankl ialah mengakui, menerima dan merangkul atau memaknai penderitaan.
Ketiga, memiliki tujuan hidup. Bagi Frankl, menemukan tujuan hidup adalah langkah penting untuk bisa hidup berdampingan dengan penderitaan. Menemukan jawaban tentang tujuan hidup kita, membuat hidup lebih bermakna. Orang yang menemukan tujuan hidupnya akan melakukan hal-hal yang dia sukai dan hidupnya akan bermanfaat bagi orang lain.
Keempat, memiliki tekat yang kuat untuk hidup. Selama dalam kamp  Frankl pernah diberi ikan busuk yang sudah mengandung cacing. Untuk bisa bertahan hidup, dia dan teman-temannya harus memakan ikan tersebut. Frank mensugesti dirinya bahwa ikan yang dia makan itu lezat. Ia bertahan hidup setelah peristiwa itu, karena dia punya tekat untuk hidup lebih lama.
Kelima, di tempat terburuk sekalipun selalu ada orang baik. Selama di kamp konsentrasi ada seorang serdadu yang memberi Frank roti saat ia lapar. Serdadu itu tahu bahwa jika ia dilaporkan atau temannya mengetahui kejadian itu, ia akan dihukum mati. Tetapi serdadu itu beberapa kali memberi Frankl roti. Komedian asal Manado, Mongol pernah bilang, "Jangan takut hadapi hidup, jalani saja."
Setelah lima hal berharga itu, Frankl akhirnya sadar bahwa "derita akan berhenti menjadi derita jika kita menemukan makna kehidupan". Denny JA, seorang penulis dan founder Lembaga survei Indonesia (LSI), dalam orasinya menyebut, penemuan makna hidup itu terjadi ketika "seseorang sadar mengapa ia dilahirkan dan bagaimana ia menjalankan hidupnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H